Senin, 24 Oktober 2016

Lincak Tua


Lincak Tua
Namaku Anisa Putri Lestari. Umurku 11 tahun.
Aku termenung diatas lincak tua didepan rumah. Hal yang selalu kulakukan berulangkali setiap matahari senja mulai tampak jingga. Aku menunggu kehadiran seseorang yang membuat janji akan kembali untuk menemuiku. Tak singkat waktu yang kubuhtuhkan untuk menunggu kedatangannya. Namun begitu aku tak akan pernah lelah untuk menunggunya kembali. Mungkin hari ini, esok dan mungkin hari-hari lainnya.
Bagiku, menunggunya adalah suatu hal yang paling mulia. Aku tak akan pernah berhenti berharap akan kehadirannya disisiku. Aku sadar, hati kecilku mengatakan jika aku membencinya. Namun aku juga sadar, aku sangat merindukannya dan tak seharusnya aku membencinya. Semua manusia pasti mempunyai kesalahan dalam hidupnya. Namun, kesalahan itu akan menjadi besar jika tak berusaha untuk menebusnya. Aku ingin dia datang dan merubah semua kekacauan dalam gubuk reot ini.
Telingaku bergetar. Gendang telingaku bergemang mendengar tawa keras itu. Tawa yang sering aku dengar dan tawa yang berasal dari dalam rumah. Bagiku suara itu sudah tidak asing lagi ditelinga. Pagi, siang, sore bahkan malam sekalipun aku masih selalu mendengarnya.
Itu suara Ibuku. Sejak kepergian Ayah, Ibu jadi berubah. Ibu jadi memiliki banyak kepribadian. Terkadang marah-marah sendiri, nangis, teriak-teriak, lari-lari bahkan yang paling sering kudengar tertawanya yang mampu memecah hiruk-pikuk Pedesaan tempat kami tinggal. Banyak yang bilang Ibu gila, namun bagiku tidak. Bagiku, Ibu tetaplah seorang wanita yang melahirkanku. Yang mengasuhku sejak aku berada di dalam rahimnya. Ibu yang hebat dan Ibu yang sangat aku sayangi. Tak kuperdulikan orang lain menganggapnya apa.
Adzan Magrib berkumandang menggema dalam telinga seluruh penghuni bumi. Ayahku tak jua terlihat kembali. Tak ada tanda-tanda akan kehadirannya. Ini adalah hari yang ke 1800 aku menunggu kehadirannya. Bahkan umurku sekarang sudah menginjak 11 tahun. Aku menunggunya selalu ditempat ini. Diatas lincak tua kesayangannya. Jika ada yang bertanya mengapa selalu lincak tua ini yang aku jadikan tempat untuk menunggunya maka akan aku menjawab, di lincak tua inilah dia berjanji untuk kembali menemuiku. Dan aku selalu menghargai janjinya itu. Lincak tua ini adalah lincak tua kesayangannya. Lima tahun yang lalu, dan juga diatas lincak tua ini Ayah selalu membacakanku dongeng sebagai penghantar tidur dan juga sebagai penghantar kekacauan. Ayah sangat lihai sekali dalam mendongeng. Bahkan dulu aku sempat berfikir bahwa Ayah berasal dari Negeri dongeng saking terpesonanya aku dengan cerita yang dibawakannya. Namun, semua yang didongengkannya kepadaku sekarang justru terjadi sebaliknya pada faktanya. Ayah pergi meninggalkanku dan Ibu. Bahkan sudah lima tahun lamanya ayah tak juga kembali.
1800 hari yang lalu,
“Mengapa kau menangis, Nisa? Apa yang kau tangisi?” Ayah bertanya kepadaku dengan intonasi lembut. Sentuhan lembutnya menyapu rambut kepalaku. Aku terguguk dalam pangkuannya.
Aku tak menjawab. Aku hanya bisa mengguguk sementara lidahku sulit untuk digerakan. Kaku bagai es batu. Bibirku bergetar mengingat hal itu. Hal yang membuatku merasa jika kebahagiaan keluarga hanyalah angin harapan yang tak pernah bisa kurasakan namun sering kudengar.
Setiap hari hanyalah teriakan-teriakan, cacian, makian dan tangisan yang selalu kudengar. Gendang telingaku serasa berlumut mendengar semua itu. Ayah dan Ibu selalu bertengkar tanpa pernah memperdulikanku sebagai putri belia yang masih berusia enam tahun. Jujur, sampai sekarang aku belum tahu apa sesungguhnya yang sering mereka ributkan sampai membuat para tetangga hafal kapan jam-jam keributan itu akan terjadi. Tepat disore hari ketika para suami kembali dari bekerja. Suatu hal yang kuyakini adalah sarver dari semua keributan dirumah ini. Harta. Harta itulah yang selalu menjadi perdebatan.
Kami tidak tergolong dalam kategori keluarga yang berada, kami hanyalah keluarga sederhana yang tak punya apa-apa. Aku yakin itulah masalahnya. Ibu selalu menuntut lebih kepada Ayah, sedangkan Ayah dengan modal ijaza SD yang dimilikinya tak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak selain menjadi kuli panggul dan juga buruh serabutan. Bahkan jika tidak ada pekerjaan Ayah terkadang menjadi pemulung sampah.
“Mengapa Ayah selalu bertengkar dengan Ibu?” Tanyaku polos. Bibirku bergetar terisak dengan jeritan batinku sendiri.
Ayah tersenyum kecil. “Tidak ada pertengkaran antara Ayah dan Ibu. Semuanya baik-baik saja. Apa yang kau lihat itu hanyalah sebuah ujian rumah tangga yang diberikan Tuhan untuk umatnya. Kau tak usah memikirkannya, karena yang harus kau fikirkan hanyalah sekolah dan belajar yang rajin agar kelak kau menjadi orang yang sukses tidak seperti Ayahmu ini.” Tuturnya. Senyum tulusnya memberikan sensasi damai bagi hatiku yang kacau.
Saat itu aku hanya bisa mengguguk sementara di dalam rumah masih kudengar Ibu ngomel-ngomel sendiri gak jelas. Dengan dongengan Ayah berharap aku lupa dengan semua pertengkaran yang baru saja kusaksikan. Namun sulit untukku melupakan hal itu. Hal yang selalu berulangkali terjadi. Bahkan, sisa-sisa pertengkaran itu masih bisa kulihat. Lihat saja, sendok, wajan, panci, dan semua alat dapur lainnya terlihat berhamburan diatas tanah liat lantai rumah kami. Ibu yang selalu mempora-porandakan rumah kecil ini. Bahkan mungkin jika aku sebuah barang Ibu juga akan melemparku layaknya serpihan-serpihan tembaga itu. Memang tak ada yang melemparku, namun dari semua kejadian yang kulihat membuat jiwaku berkeping dan berantakan seperti peralatan dapur.
Ayah, Ayah yang selalu bisa membuatku tenang. Beliau yang selalu merangkulku saat aku tersendu. Bahkan beliau juga yang selalu memelukku dan menenangkan jiwaku dengan kalimat-kalimat indahnya. Aku tahu, kalimat-kalimat itu hanyalah penghibur agar aku tak menyimpan kejadiaan-kejadian itu di dalam memoriku. Namun salah, kejadian itu justru tertanam permanen di dalam ingatanku.
Rasa bersalah atas semua yang terjadi membuat Ayah jadi sering melamun. Ingin ia menyudahi semua ini, namun tidak bisa. Tak semudah itu. Ayah ingin tetap bersamaku, dan Ayah juga masih menginginkan keluarga kami harmonis kembali seperti dulu. Namun entah mengapa harapan itu serasa terlampau jauh dari segala kenyataan. Ibu yang selalu memulai pertengkaran itu. Aku pun tak tahu ada apa dengan Ibu. Ibu berubah. Ibu selalu ngomel ketika Ayah baru saja menginjakkan kakinya di dalam rumah. Pulang kerja. Apalagi jika Ayah pulang dengan tangan hampa, kosong.
Aku tak tahu siapa yang harus kubenci. Apa aku harus menyalahkan Ibu? Atau justru aku harus membenci Ayah yang sudah meninggalkan kami? Atau, Tuhan yang seharusnya kusalahkan dari semua cobaan yang diturunkannya pada keluarga kami? Aku tak tahu. Aku bingung. Dan aku hancur.
Semua harapanku. Semua impianku sirna seiring tergerusnya luka lara yang mendera jiwa kecilku. Aku teringat sesuatu. Dulu, sewaktu Ayah dan Ibu bertengkar aku pernah mendengar kata ‘CERAI’ dari mulut Ayah. Dan kata itulah yang menjadi pengakhir Ayah mengucapkan kata sebelum akhirnya beliau pergi. Meninggalkan aku dan Ibu. Sejak kepergian Ayah semuanya jdi berubah. Kehidupan Ibu menjadi tak jelas. Gelap. Ibu tak membiayai sekolahku yang saat itu baru duduk di bangku kelas satu SD. Untuk dua sampai lima bulan Ibu masih sanggup bertahan, namun setelahnya semuanya berubah total.
Rumah kami beralih fungsi menjadi sarang laki-laki yang keluar masuk se-enaknya saja. Selalu seperti itu sampai pagi tiba. Aku, aku yang selalu membersihkan kuntung-kuntung rokok sisa semalam. Aku tak tahu apa yang Ibu lakukan dengan pria-pria itu. Aku masih sangat polos untuk mengetahuinya. Namun, setiap pagi kondisi rumah selalu berantakan dan sisa-sisa rokok bertebaran dimana-mana. Bahkan bau asapnya pun masih bisa kurasakan. Selalu seperti itu sampai satu tahun lebih dan Ibu kembali berubah.
Ibu jadi sering melamun, jarang makan, dan tak mau berbicara. Hanya diam. Aku khawatir dengan keadaan Ibu yang seperti ini. Aku takut. Aku tak tahu harus meminta pertolongan dengan siapa dan dimana. Aku bingung. Beras dalam tungku semakin berkurang. Dulu, sewaktu Ayah masih ada meskipun sedikit tungku itu selalu diisi dengan beras setiap harinya. Namun sekarang sebaliknya.
Dua bulan kemudian Ibu kembali berubah. Aneh. Yang sebelunya pendiem jarang bicara kini jadi frontal. Ibu jadi sering tertawa-tawa sendiri, ngomong sendiri, menjerit tiba-tiba dan menangis sendu tanpa sebab. Aku kasihan sekali melihat keadaan Ibu yang seperti ini. Aku tak tega. Setiap hari airmataku harus terkuras melihat keadaan Ibu yang semakin hari justru semakin memburuk. Dalam setiap tangisannya aku bisa mengartikan sebuah penyesalan yang sangat dalam.
Buruknya, sampai saat ini, sudah lebih dari satu tahun kondisi Ibu masih sama. Malah semakin buruk. Kesehatannya menjadi terganggu. Sering sakit. Aku tak tahu sampai kapan semuanya ini akan berakhir. Mungkin sampai ajal tiba yang akan mengakhirinya.
Dua tahun kemudian,
Saat ini, aku masih setia menunggu Ayah kembali. Setiap pagi lincak tua kesayangan Ayah ini aku bersihkan dan akan kupakai untuk menunggunya ketika langit senja mulai tampak jingga. Tunggu, ada yang mengganggu pandanganku kali ini. Pandanganku terpaku dengan sosok yang berdiri gagah didepan sana. Pandanganku tak seberapa jelas. Remang-remang. Mataku masih terganjal dengan lebaman pada pelopak mata akibat menangis. Sisa-sisa tangisan kemarin masih sangat kurasakan. Aku belum bisa melihat dengan jelas. Aku melihat bola matanya yang bersinar. Aku mengenali sorotan mata itu. Ayahku.
AYAAAHHHH.......
Teriakanku memecah kesunyian. Ayahku kembali. Akhirnya, penantian lamaku ini menemui titik ujung. Entah harus bagaimana aku meluapkan kebahagiaan ini. Yang pasti aku sangat bahagia sekali. Ayah tampak bersih dan segar. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Ayah banyak sekali kemajuan. Ayah merangkulku dengan lembut. Aku ingat sekali dengan pelukan ini. Pelukan lembut untuk menenangkan jiwaku saat itu. Airmataku mengalir. Aku tak tahu ini airmata bahagia atau kesedihan. Rasanya airmata ini sudah habis terkuras kemarin. Ayah terlambat. Ibu sudah tidak adalagi di dunia ini. Ibu sudah meninggal. Keadaannya yang semakin memburuk membuat Ibu tak mampu bertahan. Hanya satu pesannya untukku, yaitu ‘permintaaan maaf untuk Ayah’.
Hanya sebuah pusara milik Ibu yang bisa Ayah lihat. Aku mengenakan jilbab putih duduk disebelah Ayah dihadapan pusara Ibu. Ayah membacakan surat Al-Quran untuk mendoakan Ibu di sana. Semoga Ibu mendapatkan tempat terindah. AMIN!

Sabtu, 15 Oktober 2016

Puisi Untuk Ayah

Ayah
Masih terlukis dalam benakku kehadiranmu
Masih terdengar ucapan-ucapan nasehat ditelingkau
Dan semua tentang kenangan kita di masa lau
dulu tawaku adalah bagian dari tawamu
Setiap tangisku adalah beban Mu

Ayah, engkau adalah pembangkit semangatku
Tetesan keringat ditubuhmu semua demi masadepanku
hingga kini dekapan pelukmu masih kurasa
Kerinduan-kerinduan bersamamu kini hanyalah kenangan
Ketegaran yang kau ajarkan membuatku bertahan kini

Ku urungkan semua rasa rindu di dalam hatiku
Kepergianmu membuat keadaan tak lagi sama
Tak adalagi cengkraman canda tawa
Tak adalagi tempat untukku berbagi

Ayah, andai engkau dapat mendengar isi hatiku
Aku ingin agar kita dapat bertemu meskipun hanya sekali
Doa-doaku semoga engkau selalu damai di alam sana
Salam rinduku Ayah

#Anak yang merindukanmu

Jumat, 14 Oktober 2016

Tawa dan Tangis

Tawa dan Tangis
Aku pernah tertawa, dan aku juga pernah menangis. Bagiku tertawa dan menangis adalah satu kesatuan yang gak bisa dipisahkan. Setiap ada tawa pasti akan ada tangis. Hari ini, hari ini aku menangis. Menangis karena untuk kesekian kalinya aku gagal. Gagal meloloskan Novel karyaku sendiri di Penerbit mayor.
Aku tak tahu akan pertanda apa ini. Beberapakali di tolak dari dua karya yang kukirimkan. Aku memang tak pandai dalam merangkai kata pada kalimat-kalimat dalam novelku. Aku bukan ahli Sastra yang pandai membuat cerita menjadi drama. Meskipun begitu aku juga punya cita-cita. Aku ingin menerbitkan karya yang diakui kualitasnya.
Aku tak tahu apa aku harus terus maju atau bergerak mundur. Aku tak punya banyak teman untuk diajak berbagi. Bukan berati aku tak memiliki teman. Banyak sekali teman dan juga sahat. Namun dari mereka tidak ada yang memiliki visi dan misi yang sama sehingga nyambung untuk diajak saring.
Aku sedih, aku tak tahu harus kemana mengadu. Aku jauh dari orangtua. Aku merantau jauh ke Jogja untuk menuntut ilmu. Mengajar semua impianku. Namun saat ini aku bingung. Bagaimana aku meminta pendapat kepada oranglain terhadap karyaku? Sahabatku? Mereka baru membaca dua lembar saja sudah tertidur.
Saat ini aku hanya berharap keajaiban datang. Aku berharap Tuhan menjawab semua doa-doaku. Kerjakerasku dan juga tekadku. Aku yakin Tuhan maha adil. Hanya satu inginku, memberikan Karya yang bisa dikenang dan bermanfaat bagi orang banyak meski aku sudah tak berada di dalam Galaxi ini. Aku ingin memberikan kebanggaan bagi kedua orangtuaku khususnya Ibu. Ibu yang sangat aku sayangi. Ibu, Ibu, Ibu dan Ibu.

Jumat, 07 Oktober 2016

SEMUANYA SERBA TERDUGA

SEMUANYA SERBA TERDUGA
Banyak sekali kejadian yang pernah kita alami membuat kita sadar akan kebesaran Tuhan. Dan terkadang kita juga tidak sadar bahwa ternyata setiap kejadian yang kita alami adalah sebuah kejadian yang Tuhan berikan kepada kita. Dan dari setiap kejadian pasti ada sebuah pengalaman. Tuhan selalu memberikan balasan dari setiap hal yang kita lakukan. Baik buruk mau pun baik.
Sebenarnya jika kita cermati dengat baik, semua kejadian di dunia ini sudah sangat terduga. Jadi tidak ada yang tidak terduga. Semuanya sudah tercantum di dalam kitap-kitap atau ajaran-ajaran dari setiap kepercayaan kita masing-masing. Semua sudah tercatat dengan jelas "bahwa setiap perbuatan pasti akan mendapat balasan. Jika kita menebar benih jagung maka panen yang akan didapat pun berupa benih jagung." Itu artinya, jika kita menanam benih kebaikan maka akan berupa kebaikan juga balasan yang kita dapat. Begitupun sebaliknya.
So, semuanya sudah jangat jelas bukan? Semuanya sudah bisa kita tahu dan sudah sangat terduga. Cobalah kau tanam bibit kebaikan agar suatu saat nanti kau mendapat balasan berupa kebaikan jua.
Dan ingat! Teruslah berjalan lurus dan jangan pernah berfikir untuk keluar dari jalur, karena jalur yang sudah ditentukan itu adalah jalur yang akan menuntunmu pada PINTU SURGA.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Bapak

“Ya ndak boleh gitu. Itu namanya serakah. Kamu ndak bisa memiliki sesuatu dua sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Harus ada yang terlebih dulu kamu dahulukan.” Edi mengangguk kalem. Wajah polosnya membuat Suparman tersenyum.
“Le, Negara kita ini sedang menghadapi krisis moneter dan ekonomi. Kamu, sebagai calon generasi bangsa harus bisa membangun Negera ini agar jauh lebih baik lagi. Kamu ndak boleh mengikuti hal-hal yang menyimpang seperti yang dilakukan orang-orang disana. Kamu harus jadi panutan. Kamu harus jadi contoh.” Pesan Suparman untuk putranya. Suparman mulai menyenderkan pinggangnya pada batang pisang.
“Tapi gimana caranya Pak? Kita kan ndak punya uang. Kita miskin.”
“Hoalah Le, Le, kamu itu ya kok lucu. Uang itu bukan segalanya. Yang paling penting tu Ilmu. Ilmu lebih berharga dari uang. Kamu lihat Pak Soekarno sama Pak Soeharto, mereka apa punya uang, ndak Le. Mereka jadi pemimpin karena mereka punya Ilmu. Mereka pinter. Jadi, kalo kamu pengin jadi pemimpin, jadilah orang pinter.”
“Berati aku harus terus sekolah dong Pak?”
“Yo jelas. Kamu harus terus sekolah sampai jadi Sarjana. Sarjanah yang berbobot. Tapi ingat Le, jangan sombong. Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin tua semakin menunduk, dekat dengan tanah. Sadar jika akhirnya pasti akan kembali ke tanah. Jangan malah ndangak. Ndak boleh.”