Lincak Tua
Namaku Anisa Putri Lestari. Umurku 11 tahun.
Aku termenung diatas lincak tua didepan rumah. Hal
yang selalu kulakukan berulangkali setiap matahari senja mulai tampak jingga.
Aku menunggu kehadiran seseorang yang membuat janji akan kembali untuk
menemuiku. Tak singkat waktu yang kubuhtuhkan untuk menunggu kedatangannya.
Namun begitu aku tak akan pernah lelah untuk menunggunya kembali. Mungkin hari
ini, esok dan mungkin hari-hari lainnya.
Bagiku, menunggunya adalah suatu hal yang paling
mulia. Aku tak akan pernah berhenti berharap akan kehadirannya disisiku. Aku
sadar, hati kecilku mengatakan jika aku membencinya. Namun aku juga sadar, aku
sangat merindukannya dan tak seharusnya aku membencinya. Semua manusia pasti
mempunyai kesalahan dalam hidupnya. Namun, kesalahan itu akan menjadi besar
jika tak berusaha untuk menebusnya. Aku ingin dia datang dan merubah semua
kekacauan dalam gubuk reot ini.
Telingaku bergetar. Gendang telingaku bergemang
mendengar tawa keras itu. Tawa yang sering aku dengar dan tawa yang berasal
dari dalam rumah. Bagiku suara itu sudah tidak asing lagi ditelinga. Pagi,
siang, sore bahkan malam sekalipun aku masih selalu mendengarnya.
Itu suara Ibuku. Sejak kepergian Ayah, Ibu jadi
berubah. Ibu jadi memiliki banyak kepribadian. Terkadang
marah-marah sendiri, nangis, teriak-teriak, lari-lari bahkan yang paling sering
kudengar tertawanya yang mampu memecah hiruk-pikuk Pedesaan tempat kami
tinggal. Banyak yang bilang Ibu gila, namun bagiku tidak. Bagiku, Ibu tetaplah
seorang wanita yang melahirkanku. Yang mengasuhku sejak aku berada di dalam
rahimnya. Ibu yang hebat dan Ibu yang sangat aku sayangi. Tak kuperdulikan
orang lain menganggapnya apa.
Adzan Magrib berkumandang menggema dalam telinga seluruh
penghuni bumi. Ayahku tak jua terlihat kembali. Tak ada tanda-tanda akan
kehadirannya. Ini adalah hari yang ke 1800 aku menunggu kehadirannya. Bahkan
umurku sekarang sudah menginjak 11 tahun. Aku menunggunya selalu ditempat ini.
Diatas lincak tua kesayangannya. Jika ada yang bertanya mengapa selalu lincak
tua ini yang aku jadikan tempat untuk menunggunya maka akan aku menjawab, di
lincak tua inilah dia berjanji untuk kembali menemuiku. Dan aku selalu
menghargai janjinya itu. Lincak tua ini adalah lincak tua kesayangannya. Lima
tahun yang lalu, dan juga diatas lincak tua ini Ayah selalu membacakanku
dongeng sebagai penghantar tidur dan juga sebagai penghantar kekacauan. Ayah
sangat lihai sekali dalam mendongeng. Bahkan dulu aku sempat berfikir bahwa
Ayah berasal dari Negeri dongeng saking terpesonanya aku dengan cerita yang
dibawakannya. Namun, semua yang didongengkannya kepadaku sekarang justru
terjadi sebaliknya pada faktanya. Ayah pergi meninggalkanku dan Ibu. Bahkan
sudah lima tahun lamanya ayah tak juga kembali.
1800 hari yang lalu,
“Mengapa kau menangis, Nisa? Apa yang kau tangisi?” Ayah bertanya kepadaku dengan intonasi lembut. Sentuhan lembutnya
menyapu rambut kepalaku. Aku terguguk dalam pangkuannya.
Aku tak menjawab. Aku hanya bisa mengguguk sementara
lidahku sulit untuk digerakan. Kaku bagai es batu. Bibirku bergetar mengingat
hal itu. Hal yang membuatku merasa jika kebahagiaan keluarga hanyalah angin
harapan yang tak pernah bisa kurasakan namun sering kudengar.
Setiap hari hanyalah teriakan-teriakan, cacian, makian
dan tangisan yang selalu kudengar. Gendang telingaku serasa berlumut mendengar
semua itu. Ayah dan Ibu selalu bertengkar tanpa pernah memperdulikanku sebagai
putri belia yang masih berusia enam tahun. Jujur, sampai sekarang aku belum
tahu apa sesungguhnya yang sering mereka ributkan sampai membuat para tetangga
hafal kapan jam-jam keributan itu akan terjadi. Tepat disore hari ketika para
suami kembali dari bekerja. Suatu hal yang kuyakini adalah sarver dari semua
keributan dirumah ini. Harta. Harta itulah yang selalu menjadi perdebatan.
Kami tidak tergolong dalam kategori keluarga yang berada,
kami hanyalah keluarga sederhana yang tak punya apa-apa. Aku yakin itulah
masalahnya. Ibu selalu menuntut lebih kepada Ayah, sedangkan Ayah dengan modal ijaza
SD yang dimilikinya tak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak selain menjadi
kuli panggul dan juga buruh serabutan. Bahkan jika tidak ada pekerjaan Ayah
terkadang menjadi pemulung sampah.
“Mengapa Ayah selalu bertengkar dengan Ibu?” Tanyaku
polos. Bibirku bergetar terisak dengan jeritan batinku sendiri.
Ayah tersenyum kecil. “Tidak ada pertengkaran antara Ayah
dan Ibu. Semuanya baik-baik saja. Apa yang kau lihat itu hanyalah sebuah ujian
rumah tangga yang diberikan Tuhan untuk umatnya. Kau tak usah memikirkannya,
karena yang harus kau fikirkan hanyalah sekolah dan belajar yang rajin agar
kelak kau menjadi orang yang sukses tidak seperti Ayahmu ini.” Tuturnya. Senyum
tulusnya memberikan sensasi damai bagi hatiku yang kacau.
Saat itu aku hanya bisa mengguguk sementara di dalam
rumah masih kudengar Ibu ngomel-ngomel sendiri gak jelas. Dengan dongengan Ayah
berharap aku lupa dengan semua pertengkaran yang baru saja kusaksikan. Namun
sulit untukku melupakan hal itu. Hal yang selalu berulangkali terjadi. Bahkan,
sisa-sisa pertengkaran itu masih bisa kulihat. Lihat saja, sendok, wajan,
panci, dan semua alat dapur lainnya terlihat berhamburan diatas tanah liat
lantai rumah kami. Ibu yang selalu mempora-porandakan rumah kecil ini. Bahkan
mungkin jika aku sebuah barang Ibu juga akan melemparku layaknya
serpihan-serpihan tembaga itu. Memang tak ada yang melemparku, namun dari semua
kejadian yang kulihat membuat jiwaku berkeping dan berantakan seperti peralatan
dapur.
Ayah, Ayah yang selalu bisa membuatku tenang. Beliau yang
selalu merangkulku saat aku tersendu. Bahkan beliau juga yang selalu memelukku
dan menenangkan jiwaku dengan kalimat-kalimat indahnya. Aku tahu,
kalimat-kalimat itu hanyalah penghibur agar aku tak menyimpan
kejadiaan-kejadian itu di dalam memoriku. Namun salah, kejadian itu justru
tertanam permanen di dalam ingatanku.
Rasa bersalah atas semua yang terjadi membuat Ayah jadi
sering melamun. Ingin ia menyudahi semua ini, namun tidak bisa. Tak semudah
itu. Ayah ingin tetap bersamaku, dan Ayah juga masih menginginkan keluarga kami
harmonis kembali seperti dulu. Namun entah mengapa harapan itu serasa terlampau
jauh dari segala kenyataan. Ibu yang selalu memulai pertengkaran itu. Aku pun
tak tahu ada apa dengan Ibu. Ibu berubah. Ibu selalu ngomel ketika Ayah baru
saja menginjakkan kakinya di dalam rumah. Pulang kerja. Apalagi jika Ayah
pulang dengan tangan hampa, kosong.
Aku tak tahu siapa yang harus kubenci. Apa aku harus
menyalahkan Ibu? Atau justru aku harus membenci Ayah yang sudah meninggalkan
kami? Atau, Tuhan yang seharusnya kusalahkan dari semua cobaan yang
diturunkannya pada keluarga kami? Aku tak tahu. Aku bingung. Dan aku hancur.
Semua harapanku. Semua impianku sirna seiring tergerusnya
luka lara yang mendera jiwa kecilku. Aku teringat sesuatu. Dulu, sewaktu Ayah
dan Ibu bertengkar aku pernah mendengar kata ‘CERAI’ dari mulut Ayah. Dan kata
itulah yang menjadi pengakhir Ayah mengucapkan kata sebelum akhirnya beliau
pergi. Meninggalkan aku dan Ibu. Sejak kepergian Ayah semuanya jdi berubah.
Kehidupan Ibu menjadi tak jelas. Gelap. Ibu tak membiayai sekolahku yang saat
itu baru duduk di bangku kelas satu SD. Untuk dua sampai lima bulan Ibu masih
sanggup bertahan, namun setelahnya semuanya berubah total.
Rumah kami beralih fungsi menjadi sarang laki-laki yang
keluar masuk se-enaknya saja. Selalu seperti itu sampai pagi tiba. Aku, aku
yang selalu membersihkan kuntung-kuntung rokok sisa semalam. Aku tak tahu apa
yang Ibu lakukan dengan pria-pria itu. Aku masih sangat polos untuk
mengetahuinya. Namun, setiap pagi kondisi rumah selalu berantakan dan sisa-sisa rokok bertebaran dimana-mana. Bahkan bau asapnya pun
masih bisa kurasakan. Selalu seperti itu sampai satu tahun lebih dan Ibu
kembali berubah.
Ibu jadi sering melamun, jarang makan, dan tak mau
berbicara. Hanya diam. Aku khawatir dengan keadaan Ibu yang seperti ini. Aku
takut. Aku tak tahu harus meminta pertolongan dengan siapa dan dimana. Aku
bingung. Beras dalam tungku semakin berkurang. Dulu, sewaktu Ayah masih
ada meskipun sedikit tungku itu selalu diisi dengan beras setiap harinya. Namun
sekarang sebaliknya.
Dua bulan kemudian Ibu kembali berubah. Aneh. Yang
sebelunya pendiem jarang bicara kini jadi frontal. Ibu jadi sering tertawa-tawa
sendiri, ngomong sendiri, menjerit tiba-tiba dan menangis sendu tanpa sebab.
Aku kasihan sekali melihat keadaan Ibu yang seperti ini. Aku tak tega. Setiap
hari airmataku harus terkuras melihat keadaan Ibu yang semakin hari justru
semakin memburuk. Dalam setiap tangisannya aku bisa mengartikan sebuah
penyesalan yang sangat dalam.
Buruknya, sampai saat ini, sudah lebih dari satu tahun
kondisi Ibu masih sama. Malah semakin buruk. Kesehatannya menjadi terganggu.
Sering sakit. Aku tak tahu sampai kapan semuanya ini akan berakhir. Mungkin
sampai ajal tiba yang akan mengakhirinya.
Dua tahun kemudian,
Saat ini, aku masih setia menunggu Ayah kembali. Setiap
pagi lincak tua kesayangan Ayah ini aku bersihkan dan akan kupakai untuk
menunggunya ketika langit senja mulai tampak jingga. Tunggu, ada yang
mengganggu pandanganku kali ini. Pandanganku terpaku dengan sosok yang berdiri
gagah didepan sana. Pandanganku tak seberapa jelas. Remang-remang. Mataku masih
terganjal dengan lebaman pada pelopak mata akibat menangis. Sisa-sisa tangisan
kemarin masih sangat kurasakan. Aku belum bisa melihat dengan jelas. Aku melihat
bola matanya yang bersinar. Aku mengenali sorotan mata itu. Ayahku.
AYAAAHHHH.......
Teriakanku memecah kesunyian. Ayahku kembali. Akhirnya,
penantian lamaku ini menemui titik ujung. Entah harus bagaimana aku meluapkan
kebahagiaan ini. Yang pasti aku sangat bahagia sekali. Ayah tampak bersih dan
segar. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Ayah banyak sekali kemajuan.
Ayah merangkulku dengan lembut. Aku ingat sekali dengan pelukan ini. Pelukan
lembut untuk menenangkan jiwaku saat itu. Airmataku mengalir. Aku tak tahu ini
airmata bahagia atau kesedihan. Rasanya airmata ini sudah habis terkuras
kemarin. Ayah terlambat. Ibu sudah tidak adalagi di dunia ini. Ibu sudah
meninggal. Keadaannya yang semakin memburuk membuat Ibu tak mampu bertahan.
Hanya satu pesannya untukku, yaitu ‘permintaaan maaf untuk Ayah’.
Hanya sebuah pusara milik Ibu yang bisa Ayah lihat. Aku
mengenakan jilbab putih duduk disebelah Ayah dihadapan pusara Ibu. Ayah
membacakan surat Al-Quran untuk mendoakan Ibu di sana. Semoga Ibu mendapatkan
tempat terindah. AMIN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar