Satu bulan setelah pengumuman hasil SMPTN. Tak ada kata liburan
untuk Edi. Satu bulan bekerja keras banting tulang bangun pagi tidur malam.
Berangkat subuh pulang malam. Hasil yang dia dapat tidak membuat kecewa. Dia bisa
menyisikan uang hasil kerja kerasnya sebagai buruh serabutan. Meskipun tak
banyak.
“Hey, apa kabar?” Tiba-tiba terdengar suara merdu dari
balik tubuh remaja ini. Entah siapa itu dia di sana. Namun, suara merdunya
mampu membuat hati gundah ini terasa damai. Edi pejamkan mata dan membayangkan
sosok bidadari cantik datang menemuinya di pagi hari.
Salah tingkah dia setelah mengetahui sosok yang berada di
belakangnya itu. Bukan bidadari. Bukan juga seorang putri. Namun ia adalah Peri.
Peri dipagi hari. Ia adalah Suci. Entah makanan apa yang baru ia makan sampai
amnesia datang ke rumah kecil itu. Tak biasanya ada seorang gadis yang mau
datang kesana. Berarti dia bukan gadi yang biasa.
“Kamu kok ndak bilang kalo mau kesini?” Tanyanya gugup.
Ia sangat terkejut dengan kehadiran Suci. Namun hatinya bahagia.
Suci tertawa nakal. Entah apa yang ia
tertawakan? Mungkin karena melihat expresi pria dihadapannya yang sangat gugup melihat
tiba-tiba ia datang ke rumah. Ini pertamakalinya ada gadis yang datang kerumah
itu. Hanya Ova yang sering datang. Huh, namun sayang, dia laki-laki tulen.
“Bagaimana cara aku memberitahumu? Coba kau jelaskan. Apa aku harus menghubungimu lewat telepati hati? Atau dengan berteriak dari rumahku sampai kerumahmu? Bisa
dikira orang gila aku.” Balasnya tersenyum kecil. Edi memutar bola matanya
searah jarum jam. Benar
juga.
“Heheheee.... Iya-ya. Aku lupa.” Dia cengar-cengir
salahtingkah.
Dengan menggunakan sepeda Ontel milik sang Bapak, Edi
membawa Suci pergi ke sebuah sungai yang tidak jauh dari rumah. Suci duduk
diboncengan belakang dan Edi yang mengemudikan transortasi sederhana itu. Mencari
udara segar dan rekreasi adalah tujuan utamanya. Apalagi tempat rekreasi orang Kampung
selain sungai? Mall? Masuk saja mungkin nyasar. Kolam renang? Lebih baik untuk
beli ikan asin daripada untuk bayar tiket masuk kolam renang. Orang kampung
seperti dia ini lebih baik digunakan untuk makan daripada untuk rekreasi.
Menurutnya setiap hari sudah rekreasi. Di sawah, di ladang, ngobrol dengan
kambing dan ke sungai. Tak perlu mahal dan tak perlu hidup boros. Bahagia itu sederhana.
Roda terus berputar seiring pedal yang terus saja diayuh.
Rantai memutar pada gir dan roda berputar menyisiri jalanan terjal menuju
sungai. Berat Edi rasakan saat jalanan menanjak. Namun, tak akan terasa berat
jika orang spesial yang dibawa. Meskipun keringat menggumpal bagai jagung.
Meskipun nafas ngos-ngosan. Meskipun lutut rasanya mau copot. Meskipun rasanya
sudah tak karuan. Jika hati yang berbicara maka semua itu sirna. Hanya bahagia
yang dapat dirasakan. Cinta membuat semuanya berubah.
Gadis kaya ini bukannya jijik atau jengkel dengan tempat
seperti itu, namun justru dia terlihat sangat bahagia. Tak seperti gadis lain
yang seperti dia, terlahir sebagai anak orang kaya. Mereka tidak mau datang
ketempat-tempat seperti itu. Berdebu. Panas. Dan jalannya jelek. Beda dengan
gadis ini. Dia memang beda. Dia baik. Hum, kenapa jadi memuji-muji gadis ini?
“Aku ndak nyangka ternyata badanmu ini berat juga.” Godanya.
Bermaksut membuat suasana jadi lebih hidup. Bukannya membalas Suci justru cengingisan.
Sepertinya Suci berhasil memenangkannya. Dia berhasil membuat Edi menderita.
“Aku fikir kau laki-laki yang kuat. Ternyata baru segini saja kau sudah mengeluh.” Balasnya tersenyum nakal.
“Ya kalo aku sih kuat-kuat aja. Tapi aku masih ndak
percaya aja badanmu ini berat banget. Keberatan dosa kayaknya ini.” Edi
membalas. Tertawa. Sekarang gantian Edi yang cengingisan sambil terus mengayuh
sepeda menembus hamparan ilalang dengan bunga-bunga indah yang menari-nari
bersama iringan merdu suara burung kutilang di pagi hari.
“Bukan aku yang banyak dosa, tapi kau. Aku mah baik.
Sangat baik, hehee.” Suci mulai berani bersikap manja kepada pria itu.
Ya-Tuhan, sungguh cantik sekali gadis ini. Ingin sekali aku memanjakannya. Tak
berdaya aku saat melihat Suci dengan manjanya merebahkan kepalanya
kepunggungku. Fikirnya dalam diam.
Sesampainya mereka di sungai, mereka langsung menuju
tempat dimana biasanya Edi memancing dengan Bapaknya. Suasana pagi dan udara
yang masih segar, ditambah sura kicauan burung pipit menambah suasana jadi
indah. Membuat mereka
hanyut dalam dunia keromantisan. Gemericik
air yang mengalir menjadi sebuah biola mengiringi sang burung pipit bernyanyi. Udara yang menampar mereka dengan lembut membuat semakin
nyaman. Air dibawah sana mengalir
mencari telaga. Ia seperti mencari labuhan terakhir. Seperti Edi. Edi yang
ingin berlabuh dihati Suci. Namun itu mustahil. Air jernih terus mengalir membuat
hati serasa damai, pikiran tenang, dan jiwa serasa terbang di kayangan.
Edi memajamkan mata dan membayangkan mimpi-mimpinya
tercapai dengan lancar. Semua terasa sangat indah. Rasanya dia tak mau lagi
terbangun dari lamunan itu. Namun, seperti ada air hujan yang turun mengenai
wajahnya. Air itu. Dia membuyarkan lamunan indah Edi. Oh, ternyata ini bukan air
hujan atau air mata. Namun ini adalah air sungai yang dengan sengaja Suci
cipratkan ke wajah Edi. Nampaknya ia ingin main-main dengan pria polos itu.
Akhirnya mereka main lempar-lemparan air disungai.
Mereka saling mengejar untuk saling membalas. Terbawa yuvoria kebahagiaan
berdua. Tak sadar, mereka berdua telah bergandengan tangan.
Hening.
Pecah setelah tersadar.
Di atas sebuah bukit yang selalu menjadi tempat
favoritnya sejak dulu dan dibalik sejuknya udara sore hari di atas sana serta
suara-suara burung yang berkicau indah seorang pria tampak sendirian merenungi
nasib. Dia hanya terdiam sedih. Bagaimana lagi caraku untuk bisa kuliah?
Gumamnya. SMPTN gagal. Edi memandang jauh kedepan penuh dengan harapan. Kicauan
burung pipit yang dengan lincahnya seolah menjadi sountrack kesedihannya ini.
Langit merah di atas sana seolah-olah menjadi saksi atas kegagalan itu. Angin udara
perbukitan menusuk pori tak terasa begitu berarti dibandingkan dengan sedihnya
hati itu. Tak mungkin buruh serabutan bisa kuliah. Hutan lebat dan barisan
perbukitan serta kabut yang mulai muncul menjadi saksi kesedihannya.
Andai aku anak orang kaya. Andai aku anak pejabat. Andai
aku anak pengusaha. Fikirnya
kacau.
Dalam kesendirian dan dalam renungan itu tiba-tiba saja
matanya disibukkan dengan seekor burung yang sibuk melintas dihadapannya. Seekor
burung emprit terbang kesana kemari membawa sehelai rumput ilalang. Apa yang ia
lakukan? Semangat sekali burung itu? Mata Edi menyiut dan keningnya berkerut
memperhatikan aktivitas burung tersebut. Sungguh, sungguh tak disangka.
Ternyata burung kecil itu sedang membangun sangkar. Burung emprit kecil, dengan
suara kecil, paruh kecil, sayap kecil, dan kaki yang kecil, tapi dia mampu
membangun sangkar yang begitu besar dengan menggunakan rumput ilalang yang
tergolong rumput berat.
Edi tersenyum.
Kenapa aku lemah? Aku lebih besar dari burung itu. Aku
diberi tangan, kaki, fikiran, dan fisik yang sempurna. Kenapa aku harus
menyerah dan pesimis? Fikirnya.
Bangkit kembali semangat yang hampir saja sirna bersama
dengan harapan yang pupus. Dia
yakin, jika burung sekecil itu mampu membangun sangkar yang cukup besar sendirian, kenapa
dia tidak? Sebagai manusia
yang diberi akal dan fikiran seharusnya yakin di dunia ini tidak ada yang tidak
mungkin selagi kita mau berusaha. Meskipun itu terlihat mustahil. Namun, itulah
kehidupan, sulit untuk ditebak. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Mencoba
segala kemungkinan yang diyakini mampu untuk mengubahnya. Tak banyak yang
diharapkan oleh remaja polos ini. Dia hanya ingin mengubah sejarah keluarganya
agar tidak terulang kembali. Dia hanya ingin orang-orang yang berada
disekitarnya tidak bernasib sama dengannya.