Senin, 16 Januari 2017

BAB 2 Peri Dipagi Hari



Satu bulan setelah pengumuman hasil SMPTN. Tak ada kata liburan untuk Edi. Satu bulan bekerja keras banting tulang bangun pagi tidur malam. Berangkat subuh pulang malam. Hasil yang dia dapat tidak membuat kecewa. Dia bisa menyisikan uang hasil kerja kerasnya sebagai buruh serabutan. Meskipun tak banyak.
“Hey, apa kabar?” Tiba-tiba terdengar suara merdu dari balik tubuh remaja ini. Entah siapa itu dia di sana. Namun, suara merdunya mampu membuat hati gundah ini terasa damai. Edi pejamkan mata dan membayangkan sosok bidadari cantik datang menemuinya di pagi hari.
Salah tingkah dia setelah mengetahui sosok yang berada di belakangnya itu. Bukan bidadari. Bukan juga seorang putri. Namun ia adalah Peri. Peri dipagi hari. Ia adalah Suci. Entah makanan apa yang baru ia makan sampai amnesia datang ke rumah kecil itu. Tak biasanya ada seorang gadis yang mau datang kesana. Berarti dia bukan gadi yang biasa.
“Kamu kok ndak bilang kalo mau kesini?” Tanyanya gugup. Ia sangat terkejut dengan kehadiran Suci. Namun hatinya bahagia.
Suci tertawa nakal. Entah apa yang ia tertawakan? Mungkin karena melihat expresi pria dihadapannya yang sangat gugup melihat tiba-tiba ia datang ke rumah. Ini pertamakalinya ada gadis yang datang kerumah itu. Hanya Ova yang sering datang. Huh, namun sayang, dia laki-laki tulen.
“Bagaimana cara aku memberitahumu? Coba kau jelaskan. Apa aku harus menghubungimu lewat telepati hati? Atau dengan berteriak dari rumahku sampai kerumahmu? Bisa dikira orang gila aku.” Balasnya tersenyum kecil. Edi memutar bola matanya searah jarum jam. Benar juga.
“Heheheee.... Iya-ya. Aku lupa.” Dia cengar-cengir salahtingkah.
Dengan menggunakan sepeda Ontel milik sang Bapak, Edi membawa Suci pergi ke sebuah sungai yang tidak jauh dari rumah. Suci duduk diboncengan belakang dan Edi yang mengemudikan transortasi sederhana itu. Mencari udara segar dan rekreasi adalah tujuan utamanya. Apalagi tempat rekreasi orang Kampung selain sungai? Mall? Masuk saja mungkin nyasar. Kolam renang? Lebih baik untuk beli ikan asin daripada untuk bayar tiket masuk kolam renang. Orang kampung seperti dia ini lebih baik digunakan untuk makan daripada untuk rekreasi. Menurutnya setiap hari sudah rekreasi. Di sawah, di ladang, ngobrol dengan kambing dan ke sungai. Tak perlu mahal dan tak perlu hidup boros. Bahagia itu sederhana.
Roda terus berputar seiring pedal yang terus saja diayuh. Rantai memutar pada gir dan roda berputar menyisiri jalanan terjal menuju sungai. Berat Edi rasakan saat jalanan menanjak. Namun, tak akan terasa berat jika orang spesial yang dibawa. Meskipun keringat menggumpal bagai jagung. Meskipun nafas ngos-ngosan. Meskipun lutut rasanya mau copot. Meskipun rasanya sudah tak karuan. Jika hati yang berbicara maka semua itu sirna. Hanya bahagia yang dapat dirasakan. Cinta membuat semuanya berubah.
Gadis kaya ini bukannya jijik atau jengkel dengan tempat seperti itu, namun justru dia terlihat sangat bahagia. Tak seperti gadis lain yang seperti dia, terlahir sebagai anak orang kaya. Mereka tidak mau datang ketempat-tempat seperti itu. Berdebu. Panas. Dan jalannya jelek. Beda dengan gadis ini. Dia memang beda. Dia baik. Hum, kenapa jadi memuji-muji gadis ini?
“Aku ndak nyangka ternyata badanmu ini berat juga.” Godanya. Bermaksut membuat suasana jadi lebih hidup. Bukannya membalas Suci justru cengingisan. Sepertinya Suci berhasil memenangkannya. Dia berhasil membuat Edi menderita.
“Aku fikir kau laki-laki yang kuat. Ternyata baru segini saja kau sudah mengeluh.” Balasnya tersenyum nakal.
“Ya kalo aku sih kuat-kuat aja. Tapi aku masih ndak percaya aja badanmu ini berat banget. Keberatan dosa kayaknya ini.” Edi membalas. Tertawa. Sekarang gantian Edi yang cengingisan sambil terus mengayuh sepeda menembus hamparan ilalang dengan bunga-bunga indah yang menari-nari bersama iringan merdu suara burung kutilang di pagi hari.
“Bukan aku yang banyak dosa, tapi kau. Aku mah baik. Sangat baik, hehee.” Suci mulai berani bersikap manja kepada pria itu. Ya-Tuhan, sungguh cantik sekali gadis ini. Ingin sekali aku memanjakannya. Tak berdaya aku saat melihat Suci dengan manjanya merebahkan kepalanya kepunggungku. Fikirnya dalam diam.
Sesampainya mereka di sungai, mereka langsung menuju tempat dimana biasanya Edi memancing dengan Bapaknya. Suasana pagi dan udara yang masih segar, ditambah sura kicauan burung pipit menambah suasana jadi indah. Membuat mereka hanyut dalam dunia keromantisan. Gemericik air yang mengalir menjadi sebuah biola mengiringi sang burung pipit bernyanyi. Udara yang menampar mereka dengan lembut membuat semakin nyaman. Air dibawah sana mengalir mencari telaga. Ia seperti mencari labuhan terakhir. Seperti Edi. Edi yang ingin berlabuh dihati Suci. Namun itu mustahil. Air jernih terus mengalir membuat hati serasa damai, pikiran tenang, dan jiwa serasa terbang di kayangan.
Edi memajamkan mata dan membayangkan mimpi-mimpinya tercapai dengan lancar. Semua terasa sangat indah. Rasanya dia tak mau lagi terbangun dari lamunan itu. Namun, seperti ada air hujan yang turun mengenai wajahnya. Air itu. Dia membuyarkan lamunan indah Edi. Oh, ternyata ini bukan air hujan atau air mata. Namun ini adalah air sungai yang dengan sengaja Suci cipratkan ke wajah Edi. Nampaknya ia ingin main-main dengan pria polos itu. Akhirnya mereka main lempar-lemparan air disungai. Mereka saling mengejar untuk saling membalas. Terbawa yuvoria kebahagiaan berdua. Tak sadar, mereka berdua telah bergandengan tangan.
Hening.
Pecah setelah tersadar.
Di atas sebuah bukit yang selalu menjadi tempat favoritnya sejak dulu dan dibalik sejuknya udara sore hari di atas sana serta suara-suara burung yang berkicau indah seorang pria tampak sendirian merenungi nasib. Dia hanya terdiam sedih. Bagaimana lagi caraku untuk bisa kuliah? Gumamnya. SMPTN gagal. Edi memandang jauh kedepan penuh dengan harapan. Kicauan burung pipit yang dengan lincahnya seolah menjadi sountrack kesedihannya ini. Langit merah di atas sana seolah-olah menjadi saksi atas kegagalan itu. Angin udara perbukitan menusuk pori tak terasa begitu berarti dibandingkan dengan sedihnya hati itu. Tak mungkin buruh serabutan bisa kuliah. Hutan lebat dan barisan perbukitan serta kabut yang mulai muncul menjadi saksi kesedihannya.
Andai aku anak orang kaya. Andai aku anak pejabat. Andai aku anak pengusaha. Fikirnya kacau.
Dalam kesendirian dan dalam renungan itu tiba-tiba saja matanya disibukkan dengan seekor burung yang sibuk melintas dihadapannya. Seekor burung emprit terbang kesana kemari membawa sehelai rumput ilalang. Apa yang ia lakukan? Semangat sekali burung itu? Mata Edi menyiut dan keningnya berkerut memperhatikan aktivitas burung tersebut. Sungguh, sungguh tak disangka. Ternyata burung kecil itu sedang membangun sangkar. Burung emprit kecil, dengan suara kecil, paruh kecil, sayap kecil, dan kaki yang kecil, tapi dia mampu membangun sangkar yang begitu besar dengan menggunakan rumput ilalang yang tergolong rumput berat.
Edi tersenyum.
Kenapa aku lemah? Aku lebih besar dari burung itu. Aku diberi tangan, kaki, fikiran, dan fisik yang sempurna. Kenapa aku harus menyerah dan pesimis? Fikirnya.
Bangkit kembali semangat yang hampir saja sirna bersama dengan harapan yang pupus. Dia yakin, jika burung sekecil itu mampu membangun sangkar yang cukup besar sendirian, kenapa dia tidak? Sebagai manusia yang diberi akal dan fikiran seharusnya yakin di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin selagi kita mau berusaha. Meskipun itu terlihat mustahil. Namun, itulah kehidupan, sulit untuk ditebak. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Mencoba segala kemungkinan yang diyakini mampu untuk mengubahnya. Tak banyak yang diharapkan oleh remaja polos ini. Dia hanya ingin mengubah sejarah keluarganya agar tidak terulang kembali. Dia hanya ingin orang-orang yang berada disekitarnya tidak bernasib sama dengannya.

Sabtu, 14 Januari 2017

Bab 1 Nusantara Mendukung



Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang menyebabkan Bangsa Indonesia dilanda kemiskinan dan kekacauan hebat. Alih-alih ingin mempertahankan Pemerintahan Soeharto yang terpilih secara aklamasi parlemen untuk ketujuh kalinya justru membuat turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Mahasiswa mulai bergerak dan memprotes keras pemerintahan Soeharto hingga menimbulkan kerusuhan secara besar-besaran yang terdaftar dalam sejarah sebagai Tragedi Mei 1998.
Pada Mei 1998 masa Pemerintahan Soeharto berakhir. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan digantikan oleh wakilnya yang saat itu adalah BJ. Habibie.
Order baru berakhir berganti Reformasi. Separuh dari bangsa Indonesia dilanda kemiskinan. Namun bukan itu garis besar dari cerita ini. Empat tahun sebelum runtuhnya masa Order Baru, seorang Ibu tengah mengandung tua. Sebuah keluarga kecil yang hidup ditengah-tengah hutan belantara Sumatera yang hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga saja hidup dengan penuh kekurangan. Krisis ekonomi sangat berdampak bagi rakyat Indonesia.
Suparman dengan istrinya yang bernama Suparmi bertahan hidup dengan cara bercocok tanam mulai dari sayuran sampai buah-buahan. Tepatnya pada bulan mei 1994 seorang bayi laki-laki mungil terlahir didunia ini. Suparmi melahirkan anak pertamanya. Seorang bayi laki-laki gagah dan tampan yang diberi nama Edi Saputra.
Empat tahun kemudian barulah Peristiwa yang sering disebut dengan Kerusuhan Mei 1998 itu berangsur membaik. Bayi laki-laki yang dulu masih merah kini sudah mulai besar berumur delapan tahun. Edi Saputra. Itu nama yang diberikan Suparman untuk Putranya. Ditengah-tengah kerusuhan yang terjadi di Pusat, Jakarta, mereka mampu bertahan dengan segala kekurangannya. Menggantungkan diri dari hasil bumi. Harga bahan pangan mahal sedangkan hasil pertanian tak laku.
Keluarga kecil itu masih bisa bertahan sampai akhirnya Era Reformasi menjadi penguasa Negeri ini. Namun, peninggalan-peninggalan Kerusuhan Mei 1998 masih dirasakan oleh keluarga ini yaitu Kemiskinan.
“Apa cita-citamu, Le?” Tanya Suparman kepada putranya ditengah-tengah kebun singkong miliknya. Mereka biasa berkebun karena memang itulah pekerjaan mereka sejak jaman dulu. Turun temurun. Le, sebutan untuk anak laki-laki.
“Aku mau jadi Menteri, Pak.” Edi menjawab polos. Mereka berdua duduk dibawah pohon pisang sementara menunggu sang Ibu mengantarkan nasi untuk makan siang.
“Kok jadi Menteri to, Le? La kenapa?” Suparman bertanya antusias. Hatinya tersenyum mendengar cita-cita putranya yang sangat tinggi.
“Aku mau membangun Negeri ini. Aku mau kaya. Banyak uang. Bisa keliling dunia.” Edi membalasnya.
“Wah, besar juga keinginanmu, Le. La kamu itu jadi Menteri hanya pengen kaya apa karena pengen mensejahterakan rakyat?”
“Dua-duanya.”
“Ya ndak boleh gitu. Itu namanya serakah. Kamu ndak bisa memiliki dua hal sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Harus ada yang terlebih dulu kamu dahulukan.” Edi mengangguk kalem. Wajah polosnya membuat Suparman tersenyum.
“Le, Negara kita ini sedang menghadapi krisis Ekonomi. Kamu, sebagai calon generasi bangsa harus bisa membangun Negera ini agar jauh lebih baik lagi. Kamu ndak boleh mengikuti hal-hal yang menyimpang seperti yang dilakukan orang-orang disana. Kamu harus jadi panutan. Kamu harus jadi contoh.” Pesan Suparman untuk putranya. Suparman mulai menyenderkan pinggangnya pada batang pisang.
“Tapi gimana caranya Pak? Kita kan ndak punya uang. Kita miskin.”
“Hoalah Le, Le, kamu itu ya kok lucu. Uang itu bukan segalanya. Yang paling penting itu Ilmu. Ilmu lebih berharga dari uang. Kamu lihat Pak Soekarno sama Pak Soeharto, mereka apa punya uang, ndak Le. Mereka jadi pemimpin karena mereka punya Ilmu. Mereka pinter. Jadi, kalo kamu pengin jadi pemimpin, jadilah orang pinter.”
“Berati aku harus terus sekolah dong Pak?”
“Yo jelas. Kamu harus terus sekolah sampai jadi Sarjana. Sarjana yang berbobot. Tapi ingat Le, jangan sombong. Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin tua semakin menunduk, semakin dekat dengan tanah. Sadar jika akhirnya pasti akan kembali ke tanah. Jangan malah ndangak. Ndak boleh.” Ucap Suparman mewanti-wanti putranya. Dia tidak ingin putranya itu menjadi orang yang sombong yang lupa akan kewajibannya sebagai muslim.
Edi mengangguk kalem. Mengerti apa yang dikatakan Bapaknya. Tak lama kemudian seorang perempuan datang membawa rantang. Dari jauh sana terlihat senyum tulus terpancar dari bibirnya. Perempuan dengan kembet serta baju batik itu berjalan perlahan dibawah teriknya matahari. Wajar saja, jam satu siang. Waktunya matahari bermain.
Suparmi membuka rantang yang dia bawa. Satu rantang berisi nasi dan satu rantang lagi berisi sayur. Plastik hitam berisi krupuk dia buka. Ini saatnya makan siang sebelum melanjutkan pekerjaan lagi. Membersihkan rumput yang tumbuh dengan subur ditengah-tengah tanaman.
Lihat keluarga sederhana itu, meskipun dengan menu makan yang sangat sederhana dan dibawah teriknya matahari yang hanya dihalangi oleh pohon pisang serta ditengah-tengah perladangan, mereka masih bisa makan dengan lahap. Masih bisa kenyang. Masih bisa tertawa. Ternyata bahagia itu mudah. Cukup mensyukuri apa yang kita punya. Itu saja.
***
Disuatu tempat yang berada dipuncak paling tinggi di Bukit Barisan Sumatera, dua orang anak tengah terlihat duduk bersebelahan menatap jauh kedepan. Menatap luasnya nusantara dari atas sana. Mereka bahkan masih berseragam merah-putih lengakap dengan tas dan juga sepatu. Semeribit angin menampar kulit mereka dengan lembut. Suara-suara Lutung menggema meramaikan hutan bukit barisan.
Mereka menggangtung tasnya pada batang pohon yang berada disebelahnya. Rumput hijau, langit mendung,  perbukitan, udara dingin dan juga suara-suara burung menjadi teman mereka disana. Itu tempat favorit mereka. Tempat yang selalu mereka kunjungi saat stres karena sekolah. Tempat yang hanya mereka saja yang tahu. Dan tempat yang selalu bisa menyapu pipi mereka dengan lembut lewat udara.
“Va, apa cita-citamu?” Edi memulai percakapan. Matanya masih menatap jauh kedepan. Hamparan hutan lebat terlihat jelas disana. Sumatera masih sangat alami.
“Cita-cita? Aku tak tau, aku belum memikirkan cita-citaku. Kau sendiri, apa cita-citamu?” Ova justru bertanya balik. Dua sahabat itu mulai bercakap ringan.
“Aku mau jadi Menteri.”
Bah, Menteri? Untuk apa?”
“Untuk membangun Negara ini. Kata Bapakku aku harus bisa menjadi panutan bagi orang banyak. Menjadi contoh.”
Ova menoleh kearah sahabatnya. “Kata Mamakku, tujuh tahun yang lalu Indonesia mengalami kekacauan hebat. Mamakku saja kalau tidak kabur ke Sumatera mungkin sudah tidak bisa melahirkan aku. Kata Mamakku, banyak terjadi diskriminasi tujuh tahun yang lalu. Tapi aku juga tak tahu. Aku belum di proses saat itu. Dan aku, tak mau mengalami tragedi yang seperti Mamakku ceritakan itu.” Ova tertawa kecil.
“Aku harus jadi Sarjana.” Kata Edi spontan yang langsung membuat Ova terkejut. Ova menatap Edi serius.
“Sarjana? Sekarang saja kita masih kelas enam SD. Mau berapa lama lagi untuk jadi Sarjana? Tak tahan aku dengan sekolah. Banyak PR, ulangan, masuk pagi, matematika, hah, aku tak tahan. Malah aku tak mau sekolah rasanya.”
“Kata Bapakku aku harus terus sekolah sampe jadi Sarjana. Kalo pengen jadi Menteri aku harus punya ilmu. Aku harus pinter. Aku mau sekolah di Jogja.”
Kata Bapakku terus. Ova menggerutu.
“Kau yakin? Ulangan matematika kita saja dapat 3, gimana kita bisa terus sekolah? Yang ada kita dikeluarkan dari sekolah. Ini saja kita sudah bolos sekolah untuk pergi ketempat ini.” Kata Ova.
“Tapi aku harus terus sekolah. Aku pengin keliling dunia. Dan tempat pertama yang pengen aku datengi adalah ini,” Edi menunjukan kliping yang isinya bangunan-bangunan yang ada di Jogja salah satunya Tugu Jogja. Selain itu adajuga Keraton dan bangunan bersejarah lainnya. Ova hanya memekikkan alisnya melihat sahabat yang dianggapnya aneh itu.
Edi beranjak. Dia mengibas-ngibaskan celananya lalu memanjat pohon yang ada disebelahnya. Aneh. Ova hanya bisa menatap tingkah aneh sahabatnya itu. Sekolah memang bisa bikin orang stres. Pikir Ova. Edi masih terus memanjat sampai pada tempat tertinggi pada pohon itu.
“Kau mau ngapain?”
“NUSANTARAAAA.... AKU PASTI AKAN MENAKHLUKANMU. AKU PASTI AKAN JADI SARJANA. JOGJA, TUNGGU AKU. AKU PASTI AKAN DATANG!” Teriaknya sekeras mungkin mengarah jauh ke sana. Suaranya menggema diselah-sela lebatnya hutan bukit barisan. Angin yang akan membawa suara itu untuk sampai ketempatnya. Itu adalah doa dia. Dibawah, Ova hanya menatap tidak percaya sahabatnya itu.