Sabtu, 14 Januari 2017

Bab 1 Nusantara Mendukung



Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang menyebabkan Bangsa Indonesia dilanda kemiskinan dan kekacauan hebat. Alih-alih ingin mempertahankan Pemerintahan Soeharto yang terpilih secara aklamasi parlemen untuk ketujuh kalinya justru membuat turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Mahasiswa mulai bergerak dan memprotes keras pemerintahan Soeharto hingga menimbulkan kerusuhan secara besar-besaran yang terdaftar dalam sejarah sebagai Tragedi Mei 1998.
Pada Mei 1998 masa Pemerintahan Soeharto berakhir. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan digantikan oleh wakilnya yang saat itu adalah BJ. Habibie.
Order baru berakhir berganti Reformasi. Separuh dari bangsa Indonesia dilanda kemiskinan. Namun bukan itu garis besar dari cerita ini. Empat tahun sebelum runtuhnya masa Order Baru, seorang Ibu tengah mengandung tua. Sebuah keluarga kecil yang hidup ditengah-tengah hutan belantara Sumatera yang hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga saja hidup dengan penuh kekurangan. Krisis ekonomi sangat berdampak bagi rakyat Indonesia.
Suparman dengan istrinya yang bernama Suparmi bertahan hidup dengan cara bercocok tanam mulai dari sayuran sampai buah-buahan. Tepatnya pada bulan mei 1994 seorang bayi laki-laki mungil terlahir didunia ini. Suparmi melahirkan anak pertamanya. Seorang bayi laki-laki gagah dan tampan yang diberi nama Edi Saputra.
Empat tahun kemudian barulah Peristiwa yang sering disebut dengan Kerusuhan Mei 1998 itu berangsur membaik. Bayi laki-laki yang dulu masih merah kini sudah mulai besar berumur delapan tahun. Edi Saputra. Itu nama yang diberikan Suparman untuk Putranya. Ditengah-tengah kerusuhan yang terjadi di Pusat, Jakarta, mereka mampu bertahan dengan segala kekurangannya. Menggantungkan diri dari hasil bumi. Harga bahan pangan mahal sedangkan hasil pertanian tak laku.
Keluarga kecil itu masih bisa bertahan sampai akhirnya Era Reformasi menjadi penguasa Negeri ini. Namun, peninggalan-peninggalan Kerusuhan Mei 1998 masih dirasakan oleh keluarga ini yaitu Kemiskinan.
“Apa cita-citamu, Le?” Tanya Suparman kepada putranya ditengah-tengah kebun singkong miliknya. Mereka biasa berkebun karena memang itulah pekerjaan mereka sejak jaman dulu. Turun temurun. Le, sebutan untuk anak laki-laki.
“Aku mau jadi Menteri, Pak.” Edi menjawab polos. Mereka berdua duduk dibawah pohon pisang sementara menunggu sang Ibu mengantarkan nasi untuk makan siang.
“Kok jadi Menteri to, Le? La kenapa?” Suparman bertanya antusias. Hatinya tersenyum mendengar cita-cita putranya yang sangat tinggi.
“Aku mau membangun Negeri ini. Aku mau kaya. Banyak uang. Bisa keliling dunia.” Edi membalasnya.
“Wah, besar juga keinginanmu, Le. La kamu itu jadi Menteri hanya pengen kaya apa karena pengen mensejahterakan rakyat?”
“Dua-duanya.”
“Ya ndak boleh gitu. Itu namanya serakah. Kamu ndak bisa memiliki dua hal sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Harus ada yang terlebih dulu kamu dahulukan.” Edi mengangguk kalem. Wajah polosnya membuat Suparman tersenyum.
“Le, Negara kita ini sedang menghadapi krisis Ekonomi. Kamu, sebagai calon generasi bangsa harus bisa membangun Negera ini agar jauh lebih baik lagi. Kamu ndak boleh mengikuti hal-hal yang menyimpang seperti yang dilakukan orang-orang disana. Kamu harus jadi panutan. Kamu harus jadi contoh.” Pesan Suparman untuk putranya. Suparman mulai menyenderkan pinggangnya pada batang pisang.
“Tapi gimana caranya Pak? Kita kan ndak punya uang. Kita miskin.”
“Hoalah Le, Le, kamu itu ya kok lucu. Uang itu bukan segalanya. Yang paling penting itu Ilmu. Ilmu lebih berharga dari uang. Kamu lihat Pak Soekarno sama Pak Soeharto, mereka apa punya uang, ndak Le. Mereka jadi pemimpin karena mereka punya Ilmu. Mereka pinter. Jadi, kalo kamu pengin jadi pemimpin, jadilah orang pinter.”
“Berati aku harus terus sekolah dong Pak?”
“Yo jelas. Kamu harus terus sekolah sampai jadi Sarjana. Sarjana yang berbobot. Tapi ingat Le, jangan sombong. Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin tua semakin menunduk, semakin dekat dengan tanah. Sadar jika akhirnya pasti akan kembali ke tanah. Jangan malah ndangak. Ndak boleh.” Ucap Suparman mewanti-wanti putranya. Dia tidak ingin putranya itu menjadi orang yang sombong yang lupa akan kewajibannya sebagai muslim.
Edi mengangguk kalem. Mengerti apa yang dikatakan Bapaknya. Tak lama kemudian seorang perempuan datang membawa rantang. Dari jauh sana terlihat senyum tulus terpancar dari bibirnya. Perempuan dengan kembet serta baju batik itu berjalan perlahan dibawah teriknya matahari. Wajar saja, jam satu siang. Waktunya matahari bermain.
Suparmi membuka rantang yang dia bawa. Satu rantang berisi nasi dan satu rantang lagi berisi sayur. Plastik hitam berisi krupuk dia buka. Ini saatnya makan siang sebelum melanjutkan pekerjaan lagi. Membersihkan rumput yang tumbuh dengan subur ditengah-tengah tanaman.
Lihat keluarga sederhana itu, meskipun dengan menu makan yang sangat sederhana dan dibawah teriknya matahari yang hanya dihalangi oleh pohon pisang serta ditengah-tengah perladangan, mereka masih bisa makan dengan lahap. Masih bisa kenyang. Masih bisa tertawa. Ternyata bahagia itu mudah. Cukup mensyukuri apa yang kita punya. Itu saja.
***
Disuatu tempat yang berada dipuncak paling tinggi di Bukit Barisan Sumatera, dua orang anak tengah terlihat duduk bersebelahan menatap jauh kedepan. Menatap luasnya nusantara dari atas sana. Mereka bahkan masih berseragam merah-putih lengakap dengan tas dan juga sepatu. Semeribit angin menampar kulit mereka dengan lembut. Suara-suara Lutung menggema meramaikan hutan bukit barisan.
Mereka menggangtung tasnya pada batang pohon yang berada disebelahnya. Rumput hijau, langit mendung,  perbukitan, udara dingin dan juga suara-suara burung menjadi teman mereka disana. Itu tempat favorit mereka. Tempat yang selalu mereka kunjungi saat stres karena sekolah. Tempat yang hanya mereka saja yang tahu. Dan tempat yang selalu bisa menyapu pipi mereka dengan lembut lewat udara.
“Va, apa cita-citamu?” Edi memulai percakapan. Matanya masih menatap jauh kedepan. Hamparan hutan lebat terlihat jelas disana. Sumatera masih sangat alami.
“Cita-cita? Aku tak tau, aku belum memikirkan cita-citaku. Kau sendiri, apa cita-citamu?” Ova justru bertanya balik. Dua sahabat itu mulai bercakap ringan.
“Aku mau jadi Menteri.”
Bah, Menteri? Untuk apa?”
“Untuk membangun Negara ini. Kata Bapakku aku harus bisa menjadi panutan bagi orang banyak. Menjadi contoh.”
Ova menoleh kearah sahabatnya. “Kata Mamakku, tujuh tahun yang lalu Indonesia mengalami kekacauan hebat. Mamakku saja kalau tidak kabur ke Sumatera mungkin sudah tidak bisa melahirkan aku. Kata Mamakku, banyak terjadi diskriminasi tujuh tahun yang lalu. Tapi aku juga tak tahu. Aku belum di proses saat itu. Dan aku, tak mau mengalami tragedi yang seperti Mamakku ceritakan itu.” Ova tertawa kecil.
“Aku harus jadi Sarjana.” Kata Edi spontan yang langsung membuat Ova terkejut. Ova menatap Edi serius.
“Sarjana? Sekarang saja kita masih kelas enam SD. Mau berapa lama lagi untuk jadi Sarjana? Tak tahan aku dengan sekolah. Banyak PR, ulangan, masuk pagi, matematika, hah, aku tak tahan. Malah aku tak mau sekolah rasanya.”
“Kata Bapakku aku harus terus sekolah sampe jadi Sarjana. Kalo pengen jadi Menteri aku harus punya ilmu. Aku harus pinter. Aku mau sekolah di Jogja.”
Kata Bapakku terus. Ova menggerutu.
“Kau yakin? Ulangan matematika kita saja dapat 3, gimana kita bisa terus sekolah? Yang ada kita dikeluarkan dari sekolah. Ini saja kita sudah bolos sekolah untuk pergi ketempat ini.” Kata Ova.
“Tapi aku harus terus sekolah. Aku pengin keliling dunia. Dan tempat pertama yang pengen aku datengi adalah ini,” Edi menunjukan kliping yang isinya bangunan-bangunan yang ada di Jogja salah satunya Tugu Jogja. Selain itu adajuga Keraton dan bangunan bersejarah lainnya. Ova hanya memekikkan alisnya melihat sahabat yang dianggapnya aneh itu.
Edi beranjak. Dia mengibas-ngibaskan celananya lalu memanjat pohon yang ada disebelahnya. Aneh. Ova hanya bisa menatap tingkah aneh sahabatnya itu. Sekolah memang bisa bikin orang stres. Pikir Ova. Edi masih terus memanjat sampai pada tempat tertinggi pada pohon itu.
“Kau mau ngapain?”
“NUSANTARAAAA.... AKU PASTI AKAN MENAKHLUKANMU. AKU PASTI AKAN JADI SARJANA. JOGJA, TUNGGU AKU. AKU PASTI AKAN DATANG!” Teriaknya sekeras mungkin mengarah jauh ke sana. Suaranya menggema diselah-sela lebatnya hutan bukit barisan. Angin yang akan membawa suara itu untuk sampai ketempatnya. Itu adalah doa dia. Dibawah, Ova hanya menatap tidak percaya sahabatnya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar