Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang
menyebabkan Bangsa Indonesia dilanda kemiskinan dan kekacauan hebat.
Alih-alih ingin mempertahankan Pemerintahan Soeharto yang terpilih secara
aklamasi parlemen untuk ketujuh kalinya justru membuat turunnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Mahasiswa mulai bergerak
dan memprotes keras pemerintahan Soeharto hingga menimbulkan kerusuhan secara
besar-besaran yang terdaftar dalam sejarah sebagai Tragedi Mei 1998.
Pada Mei 1998 masa Pemerintahan
Soeharto berakhir. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan digantikan oleh
wakilnya yang saat itu adalah BJ. Habibie.
Order baru berakhir berganti
Reformasi. Separuh dari bangsa Indonesia dilanda kemiskinan. Namun bukan itu garis
besar dari cerita ini. Empat tahun sebelum runtuhnya masa Order Baru, seorang
Ibu tengah mengandung tua. Sebuah keluarga kecil yang hidup ditengah-tengah
hutan belantara Sumatera yang hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga saja
hidup dengan penuh kekurangan. Krisis ekonomi sangat berdampak bagi rakyat
Indonesia.
Suparman dengan istrinya
yang bernama Suparmi bertahan hidup dengan cara bercocok tanam mulai dari
sayuran sampai buah-buahan. Tepatnya pada bulan mei 1994 seorang bayi laki-laki
mungil terlahir didunia ini. Suparmi melahirkan anak pertamanya. Seorang bayi laki-laki gagah dan tampan yang diberi nama
Edi Saputra.
Empat tahun kemudian barulah
Peristiwa yang sering disebut dengan Kerusuhan Mei 1998 itu berangsur membaik. Bayi laki-laki yang dulu masih merah kini sudah
mulai besar berumur delapan tahun. Edi Saputra. Itu nama yang diberikan
Suparman untuk Putranya. Ditengah-tengah kerusuhan yang terjadi di Pusat,
Jakarta, mereka mampu bertahan dengan segala kekurangannya. Menggantungkan diri
dari hasil bumi. Harga bahan pangan mahal sedangkan hasil pertanian tak laku.
Keluarga kecil itu masih bisa
bertahan sampai akhirnya Era Reformasi menjadi penguasa Negeri ini. Namun,
peninggalan-peninggalan Kerusuhan Mei 1998 masih dirasakan oleh keluarga ini
yaitu Kemiskinan.
“Apa cita-citamu, Le?” Tanya Suparman kepada putranya
ditengah-tengah kebun singkong miliknya. Mereka biasa berkebun karena memang
itulah pekerjaan mereka sejak jaman dulu. Turun temurun. Le, sebutan untuk anak
laki-laki.
“Aku mau jadi Menteri, Pak.” Edi menjawab polos. Mereka
berdua duduk dibawah pohon pisang sementara menunggu sang Ibu mengantarkan nasi
untuk makan siang.
“Kok jadi Menteri to, Le? La kenapa?” Suparman bertanya
antusias. Hatinya tersenyum mendengar cita-cita putranya yang sangat tinggi.
“Aku mau membangun
Negeri ini. Aku mau kaya. Banyak uang. Bisa keliling dunia.” Edi
membalasnya.
“Wah, besar juga keinginanmu, Le. La kamu itu jadi
Menteri hanya pengen kaya apa karena pengen mensejahterakan rakyat?”
“Dua-duanya.”
“Ya ndak boleh gitu. Itu namanya serakah. Kamu ndak bisa
memiliki dua hal sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Harus ada yang terlebih
dulu kamu dahulukan.” Edi mengangguk kalem. Wajah polosnya membuat Suparman
tersenyum.
“Le, Negara kita ini sedang menghadapi krisis Ekonomi.
Kamu, sebagai calon generasi bangsa harus bisa membangun Negera ini agar jauh
lebih baik lagi. Kamu ndak boleh mengikuti hal-hal yang menyimpang seperti yang
dilakukan orang-orang disana. Kamu harus jadi panutan. Kamu harus jadi contoh.”
Pesan Suparman untuk putranya. Suparman mulai menyenderkan pinggangnya pada
batang pisang.
“Tapi gimana caranya Pak? Kita kan ndak punya uang. Kita
miskin.”
“Hoalah Le, Le, kamu itu ya kok lucu. Uang itu bukan
segalanya. Yang paling penting itu Ilmu. Ilmu lebih berharga dari uang. Kamu lihat Pak
Soekarno sama Pak Soeharto, mereka apa punya uang, ndak Le. Mereka jadi
pemimpin karena mereka punya Ilmu. Mereka pinter. Jadi, kalo kamu pengin jadi
pemimpin, jadilah orang pinter.”
“Berati aku harus terus sekolah dong Pak?”
“Yo jelas. Kamu harus terus sekolah sampai jadi Sarjana.
Sarjana yang berbobot. Tapi ingat Le, jangan sombong. Jadilah seperti padi,
semakin berisi semakin tua semakin menunduk, semakin dekat dengan tanah. Sadar
jika akhirnya pasti akan kembali ke tanah. Jangan malah ndangak. Ndak boleh.”
Ucap Suparman mewanti-wanti putranya. Dia tidak ingin putranya itu menjadi
orang yang sombong yang lupa akan kewajibannya sebagai muslim.
Edi mengangguk kalem. Mengerti apa yang dikatakan
Bapaknya. Tak lama kemudian seorang perempuan datang membawa rantang. Dari jauh
sana terlihat senyum tulus terpancar dari bibirnya. Perempuan dengan kembet
serta baju batik itu berjalan perlahan dibawah teriknya matahari. Wajar saja,
jam satu siang. Waktunya matahari bermain.
Suparmi membuka rantang yang dia
bawa. Satu rantang berisi nasi dan satu rantang lagi berisi sayur. Plastik
hitam berisi krupuk dia buka. Ini saatnya makan siang sebelum melanjutkan
pekerjaan lagi. Membersihkan rumput yang tumbuh dengan subur ditengah-tengah
tanaman.
Lihat keluarga sederhana itu, meskipun dengan menu makan
yang sangat sederhana dan dibawah teriknya matahari yang hanya dihalangi oleh
pohon pisang serta ditengah-tengah perladangan, mereka masih bisa makan dengan
lahap. Masih bisa kenyang. Masih bisa tertawa. Ternyata bahagia itu mudah.
Cukup mensyukuri apa yang kita punya. Itu saja.
***
Disuatu tempat yang berada dipuncak paling tinggi di
Bukit Barisan Sumatera, dua orang anak tengah terlihat duduk bersebelahan
menatap jauh kedepan. Menatap luasnya nusantara dari atas sana. Mereka bahkan
masih berseragam merah-putih lengakap dengan tas dan juga sepatu. Semeribit
angin menampar kulit mereka dengan lembut. Suara-suara Lutung menggema
meramaikan hutan bukit barisan.
Mereka menggangtung tasnya pada batang pohon yang berada
disebelahnya. Rumput hijau, langit mendung,
perbukitan, udara dingin dan juga suara-suara burung menjadi teman
mereka disana. Itu tempat favorit mereka. Tempat yang selalu mereka kunjungi
saat stres karena sekolah. Tempat yang hanya mereka saja yang tahu. Dan tempat
yang selalu bisa menyapu pipi mereka dengan lembut lewat udara.
“Va, apa cita-citamu?” Edi memulai percakapan. Matanya
masih menatap jauh kedepan. Hamparan hutan lebat terlihat jelas disana.
Sumatera masih sangat alami.
“Cita-cita? Aku tak tau, aku belum memikirkan
cita-citaku. Kau sendiri, apa cita-citamu?” Ova justru bertanya balik. Dua
sahabat itu mulai bercakap ringan.
“Aku mau jadi Menteri.”
“Bah,
Menteri? Untuk apa?”
“Untuk membangun Negara ini. Kata Bapakku aku harus bisa
menjadi panutan bagi orang banyak. Menjadi contoh.”
Ova menoleh kearah sahabatnya. “Kata Mamakku, tujuh tahun
yang lalu Indonesia mengalami kekacauan hebat. Mamakku saja kalau tidak kabur
ke Sumatera mungkin sudah tidak bisa melahirkan aku. Kata Mamakku, banyak
terjadi diskriminasi tujuh tahun yang lalu. Tapi aku juga tak tahu. Aku belum di proses saat itu. Dan aku, tak mau mengalami tragedi yang seperti Mamakku
ceritakan itu.” Ova tertawa kecil.
“Aku harus jadi Sarjana.” Kata Edi spontan yang langsung
membuat Ova terkejut. Ova menatap Edi serius.
“Sarjana? Sekarang saja kita masih kelas enam
SD. Mau berapa lama lagi untuk jadi Sarjana? Tak tahan aku
dengan sekolah. Banyak PR, ulangan, masuk pagi, matematika, hah, aku tak tahan.
Malah aku tak mau sekolah rasanya.”
“Kata Bapakku aku harus terus sekolah sampe jadi Sarjana.
Kalo pengen jadi Menteri aku harus punya ilmu. Aku harus pinter. Aku mau
sekolah di Jogja.”
Kata Bapakku terus.
Ova menggerutu.
“Kau yakin? Ulangan matematika kita saja dapat 3, gimana
kita bisa terus sekolah? Yang ada kita dikeluarkan dari sekolah. Ini saja kita
sudah bolos sekolah untuk pergi ketempat ini.” Kata Ova.
“Tapi aku harus terus sekolah. Aku pengin keliling dunia.
Dan tempat pertama yang pengen aku datengi adalah ini,” Edi menunjukan kliping
yang isinya bangunan-bangunan yang ada di Jogja salah satunya Tugu Jogja.
Selain itu adajuga Keraton dan bangunan bersejarah lainnya. Ova hanya
memekikkan alisnya melihat sahabat yang dianggapnya aneh itu.
Edi beranjak. Dia mengibas-ngibaskan celananya lalu
memanjat pohon yang ada disebelahnya. Aneh. Ova hanya bisa menatap tingkah aneh
sahabatnya itu. Sekolah memang bisa bikin orang stres. Pikir Ova. Edi masih
terus memanjat sampai pada tempat tertinggi pada pohon itu.
“Kau mau ngapain?”
“NUSANTARAAAA.... AKU PASTI AKAN MENAKHLUKANMU. AKU PASTI
AKAN JADI SARJANA. JOGJA, TUNGGU AKU. AKU PASTI AKAN DATANG!” Teriaknya sekeras
mungkin mengarah jauh ke sana. Suaranya menggema diselah-sela lebatnya hutan
bukit barisan. Angin yang akan membawa suara itu untuk sampai ketempatnya. Itu
adalah doa dia. Dibawah, Ova hanya menatap tidak percaya sahabatnya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar