NUTTTT.....
NUUTTT..... NUUTTTT....
Siang
itu, disebuah Panti Asuhan terlihat seorang Ibu Panti sedang resah menggenggam telvon.
Sepertinya ia sedang menunggu telvonnya itu di angkat. Ia mondar-mandir diruang
tengah sambil menempelkan HP-nya ditelinga.
Ayo angkat Dimas, angkat. Gumam
Ibu Panti sambil terus mondar-mandir.
Bu
Tuti menunggu dengan resah telvonnya untuk diangkat oleh Dimas. Wajahnya
semakin terlihat cemas. Beberapakali ia menghubungi Dimas namun tak adajuga
jawaban. Entah mengapa cowok itu tumben sekali susah untuk dihubungi. Padahal
biasanya sekali telvon Dimas langsung menjawab. Kemana Dimas?
Assalamualaikum.......
Dimas
menjawab telvon dari seberang sana.
“Dimas,
kamu dimana, Nak? Hal buruk terjadi di Panti.”
“Hal
buruk apa, Bu? Apa yang terjadi dengan panti?”
“Alia,
Alia masuk rumah sakit Dimas. Penyakitnya kambuh lagi. Tadi, waktu dia sekolah
dia pingsan, lalu gurunya membawanya ke rumah sakit. Dan sekarang kami sedang
menunggu dokter memeriksa keadaan Alia.” Jelas Bu Tuti. Air matanya menggenang
di pelopak matanya. Anak-anak yang ikut kerumah sakit juga terlihat sedih
bahkan ada yang menangis guguk disudut koridor.
“Yasudah
kalau gitu saya langsung kesana. Ibu jangan khawatir, pasti Alia akan baik-baik
saja, percaya sama saya, Bu.” Balas Dimas dan langsung bergegas menuju kerumah
sakit.
Tas,
baju, celana, sepatu serta barang-barang yang ia bawa langsung dilemparkan
kedalam mobil. Dia langsung bergerak cepat. Beberapa orang melihatnnya bingung
karena terburu-buru. Seorang gadis penunggu kasir pun terlihat bingung karena
Dimas tidak mengambil kembalian uang bayar Gym. Ternyata saat Bu Tuti menelvon
Dimas sedang nge-Gym di Hardcord Gym yang terletak disebelah Stadion Kridosono.
BRUUUMMMM.......
Sedan
merah terlihat cepat meninggalkan lapangan parkir Harcord Gym. Handel gas Dimas
injak masuk ke dalam, ramainya jalan Sudirman tidak membuatnya untuk mengurangi
kecepatan. Matanya fokus di jalan namun fikirannya masih kepada Alia yang
tengah terbaring di rumah sakit. Kecemasan akan keadaan Alia menyelimuti
dirinya.
Alia,
gadis cilik yang memiliki nasib tidak jauh darinya sudah dia anggap sebagai
adiknya sendiri. Dan kini, gadis cilik itu tengah terbaring di ranjang rumah
sakit karena sebuah penyakit yang ternyata sudah lama dia derita. Penyakit apa
sebenarnya? Tidak tahu, Bu Tuti merahasiakan ini dari Dimas. Hanya ini yang
tidak Bu Tuti ceritakan kepada Dimas. Tapi kenapa? Kenapa Bu Tuti terkesan
menyembunyikannya? Padahal semua yang berkaitan dengan panti Dimas harus tahu?
Penyakit
apa sebenarnya yang telah hinggap dalam diri Alia? Dimas masih bertanya-tanya
sambil menunggu lampu merah dihadapannya itu hijau. Mobilnya terhenti oleh
lampu apil didepan Galeria. Wajahnya sangat cemas sekali, dia tidak bisa
tenang. Gelagatnya seolah mengatakan bahwa lampu merah disana harus segera
hijau agar dia bisa dengan cepat sampai dirumah sakit.
Beberapa
menit kemudian sedan merah terlihat
memasuki lahan parkir salah satu rumah sakit yang ada di Yogya. Dengan
lihai Dimas segera memarkirkan mobilnya dan dia langsung turun dari dalam
mobil. Langkahnya terburu-buru, wajahnyapun sendayu. Sedih tak menentu.
Matanya
terus menyelidik saat ia jalan di lorong rumah sakit. Setiap ruangan ia
periksa. Ia mencari ruangan dengan no. 31. Matanya terhenti pada satu ruangan
dan dia langsung lari saat melihat Bu Tuti dan anak-anak yang lain sedang duduk
sedih didepan kamar no. 31. Dimas mendekati mereka. Tak ada mata yang tidak
merah, semuanya merah, lebam akibat menangis. Kesedihan mereka semua sudah
dapat Dimas rasakan saat dia masih di jalan.
“Kak
Dimas.” salah satu anak mendongak ketika melihat Dimas berdiri disampingnya.
Dilihatnya Dimas yang tengah berdiri sambil kerepotan mengontrol nafasnya yang
ngos-ngosan. Sesekali ia menelan ludah. Ludahnya sudah terasa pahit dimulutnya.
“Bagaimana
keadaan Alia, Bu?” Tanya Dimas panik sementara Tuti masih menggugu dikursi
panjang.
“Ibu
juga belum tahu, Nak Dimas. Di dalam Dokter masih memeriksanya. Kita berdoa
saja semoga Alia bisa melewati semua ini.”
“Bu,
tolong jelasin ke saya,
sebenarnya penyakit apa yang Alia derita? Kenapa Ibu belum cerita?” Tanya Dimas
lalu ia duduk disamping Bu Tuti. Bu Tuti
menatap Dimas.
Bu
Tuti langsung menceritakan apa sebenarnya yang terjadi dengan Alia. Beliau
menjelaskan bahwa Alia tengah menderita gagal ginjal. Kemungkinan besar Alia
harus kehilangan satu ginjalnya. Tuturnya. Penyakit itu sudah menyerang Alia
sejak ia masih berumur tiga tahun. Ingin sekali Bu Tuti mengoperasinya dan
mencari donor ginjal untuk Alia, namun uang menjadi kendala utamanya. Uang,
uang dan selalu uang. Jika saja Bu Tuti memiliki banyak uang pasti Alia sudah
sembuh dan tidak perlu keluar masuk rumah sakit lagi.
Dimas
langsung tertegun diam setelah mendengar cerita dari Bu Tuti. Wajahnya tampak
sedih. Dia tidak percaya ternyata Alia lebih menderita dari dirinya. Seharusnya
aku bersyukur dengan keadaanku yang seperti ini. Tutur Dimas dalam hati. Dia
tidak pernah menyangka jika ternyata gadis cilik yang selalu tampil ceria itu
menyimpan banyak kesedihan. Luar biasa, sangat luar biasa Alia. Dimas
berulangkali memuji Alia dalam hatinya. Siapa yang tahu isi hati seseorang.
Jangan hanya melihat dari luarnya saja, cobalah untuk memahami dalamnya juga.
Hebat
sekali Alia, menutupi dan mampu tampil ceria walaupun ajal kapan saja bisa
menjemputnya. Pantas saja terkadang dia mengeluhkan perutnya. Ternyata ini
jawabannya. Pikir Dimas.
Bagaimana
bisa gadis kecil ini tetap tegar menjalani hari-harinya yang sangat menyedihkan
ini? Jarang sekali ada orang yang mampu melewati fase-fase seperti ini, apalagi
dia adalah gadis kecil yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu.
Aku yang masih memiliki keluarga utuh dan diberi kesehatan terkadang masih
merasa jika hidupku ini yang paling menyedihkan. Ternyata ada yang lebih
menyedihkan dari aku. Dimas masih bercakap dalam hatinya.
Jika
ini terjadi pada diriku mungkin aku tidak akan sanggup untuk menjalani
hari-hariku. Aku akan lebih memilih mati daripada harus menjalani hidup bersama
dengan penyakit berat. Andai saja tidak ada orang tua yang tega
meninggalkan/menelantarkan anaknya, maka tidak akan ada hal-hal buruk yang
terjadi pada generasi bangsa ini. Dimas tertegun diam. Dimas bengong.
“Gimana
dok keadaan Alia?” Tanya Bu Tuti setelah melihat dokter keluar dari ruangan.
Dimas dan yang lain langsung beranjak dan mendekati dokter yang sedang berdiri
membawa alat-alat periksa.
“Bagaimana,
Dok?! Alia baik-baik saja kan, Dok?” Tanya Dimas. Dimas terlihat sangat
khawatir sekali. Dokter berusaha untuk menciptakan suasana tenang.
“Tenang
Mas, lebih baik kita bicarakan semuanya di dalam ruangan saya saja. Disini tempatnya
kurang tepat untuk membahas hal ini.” Balas Dokter sambil mencoba untuk
menenangkan Dimas yang mulai terlihat emosi.
Sebenarnya
Dimas hendak membentak Dokter, namun “Dimas, benar kata dokter. Lebih baik kita
bicarakan di dalam saja. Tidak baik jika kita bicarakan disini, ada anak-anak
yang masih belum cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Cegah Bu Tuti. Sesekali
ia melirik anak-anak yang masih berharap-harap cemas menunggu kabar sahabat
pantinya itu.
Dimas
langsung diam dan menuruti kata-kata Bu Tuti. Mereka bertiga masuk ke dalam
ruangan. Di dalam ada satu suster yang terlihat sedang membereskan meja kerja
dokter. Itu adalah ruangan dokter. Bu Tuti dan Dimas dipersilahkan untuk duduk
dikursi yang telah disediakan sedangkan dokter duduk dibalik meja tepat
dihadapan Dimas dan Bu Tuti.
Sebelum
membeberkan semuanya dokter menarik nafas sejenak lalu membuangnya. Dirasa
sudah siap beliau segera menjelaskan tentang kondisi Alia. Bu Tuti dan Dimas
khusuk mendengarkan. Mereka sangat antusias untuk mendengar penjelasan dari
dokter. Semakin jauh, semakin jauh dan semakin lesu dan tampak sedih wajah
Dimas dan Bu Tuti. Butiran air mata mulai terlihat menggenangi pelopak mata
mereka. Butir-butiran airmata itu terjatuh sampai membasahi pipi. Dimas
menggeleng-geleng seolah dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dimas tertunduk
diam. Setetes, dua tetes, tiga tetes dan sampai bertetes-tetes airmatanya turun
membasahi meja dokter. Dia menyeka
matanya. Masih ada jalan untuk Alia kecil. Batinnya.
“Hay
sayang,” Bu Tuti menyapa Alia dengan ceria seolah tidak ada hal besar terjadi.
Alia masih terbaring lemas diranjang putih rumah sakit. Matanya masih sayup,
wajahnya pucat dan tubuhnya masih sangat lemas.
Dimas
menatapnya sambil tersenyum lebar menyembunyikan seribu kesedihan di dalam
dirinya. Mungkin ini cara terbaik. Cara yang sama yang digunakan oleh Alia
untuk tetap tegar dibalik kesedihannya. Dengan ceria dia bisa menghibur orang
meskipun orang lain sulit untuk menghibur dirinya. Meskipun begitu Dimas masih
tidak kuasa jika melihat gadis cilik itu. Ia ingin menangis jika memandangnya.
Gadis yang masih panjang jalan hidupnya, gadis yang masih memiliki kesempatan
besar untuk cita-citanya dan gadis yang sangat cerdas namun harus merasakan
sakit yang setiap saat bisa merenggut nyawanya.
“Hay
Alia, lihat, kak Dimas bawa siapa untuk kamu,” Dimas membuka pintu lalu
anak-anak panti yang ikut kerumah sakit masuk ke dalam dengan wajah ceria. Alia
tersenyum melihat kehadiran sahabat-sahabat dari panti. Ingin sekali ia duduk
dan menyambut kedatangan keluarga panti namun tubuhnya masih terasa lemas untuk
digerakan.
“Kamu
harus cepet sembuh ya, Alia, agar kita bisa mainan bareng lagi. Aku sudah
kangen sama kamu...” Ucap salah satu anak yang mencoba untuk mensuport Alia. Ia
ingin Alia cepet sehat kembali. Yang lain mengiyakan kata-kata itu. Mereka
semua tersenyum lebar kearah Alia. Dimas berdiri dibelakang kursi Bu Tuti. Bu
Tuti duduk tepat disebelah Alia. Beliau membelai-belai kening Alia dengan
lembut layaknya seorang Ibu kandung. Anak-anak yang lain mengelilingi Alia
sampai membuat penuh ruangan itu. Keluarga panti kecil itu terlihat sangat
harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar