Kamis, 29 September 2016

Peri Dipagi Hari


Peri Dipagi Hari
Satu bulan setelah pengumuman hasil SMPTN. Tak ada kata liburan untuk Edi. Satu bulan bekerja keras banting tulang bangun pagi tidur malam. Berangkat subuh pulang malam. Hasil yang dia dapat tidak membuat kecewa. Dia bisa menyisikan uang hasil kerja kerasnya sebagai buruh serabutan. Meskipun tak banyak. Dan dia juga sudah bisa membeli hape dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Sekarang dia punya HP. Cieee.... Punya H-P.
“Hey, apa kabar?” Tiba-tiba terdengar suara merdu dari balik tubuh remaja ini. Entah siapa itu dia di sana. Namun, suara merdunya mampu membuat hati gundah ini terasa damai. Edi pejamkan mata dan membayangkan sosok bidadari cantik datang menemuinya di pagi hari.
Salah tingkah dia setelah mengetahui sosok yang berada di belakangnya itu. Bukan bidadari. Bukan juga seorang putri. Namun ia adalah Peri. Peri dipagi hari. Ia adalah Suci. Entah makanan apa yang baru ia makan sampai amnesia datang ke rumah kecil itu. Tak biasanya ada seorang gadis yang mau datang kesana.
“Kamu kok ndak bilang kalo mau kesini?” Tanyanya gugup. Ia sangat terkejut dengan kehadiran Suci. Namun hatinya bahagia.
Suci tertawa kecil. Entah apa yang ia tertawakan? Mungkin karena melihhat expresi pria dihadapannya yang sangat gugup melihat tiba-tiba ia datang ke rumah. Ini pertamakalinya ada gadis yang datang kerumah itu. Hanya Ova yang sering datang. huh, namun sayang, dia laki-laki tulen.
“Gimana caranya aku bilang ke kamu? Melalui telepon kaleng? Atau melalui telepati hati? Atau dengan berteriak dari rumahku sampai kerumahmu? Bisa dikira orang gila aku.” Balasnya tersenyum kecil. Edi memutar bola matanya searah jarum jam.
“Heheheee.... Iya-ya. Aku lupa.” Dia cengar-cengir salahtingkah.
“Oya, denger-denger ada yang udah punya hape nih? Jadi penasaran pengin lihat.” Sindirnya mesam-mesem menggoda. Edi tersenyum malu-malu.
“Kamu kok tau?”
“Cie-cieeee... Yang udah punya hape, gayalah yaaaa.” Godanya sambil mencubit perut pria dihadapannya itu. Edi berusaha menghindari namun Suci tetap saja menang dan berhasil mencubit perutnya.
Akhirnya mereka tukeran nomor hape lalu mereka ngobrol-ngobrol dengan canda tawa. Dari dalam, Ibu, Suparmi membawakan dua cangkir teh hangat untuk Putranya dan Suci. Tamunya.
Dengan menggunakan sepeda Ontel milik sang Bapak, Edi membawa Suci pergi ke sungai yang tidak jauh dari rumah. Suci duduk diboncengan belakang dan Edi yang mengemudikan transortasi sederhana itu. Mencari udara segar dan rekreasi adalah tujuan utamanya. Apalagi tempat rekreasi orang Kampung selain sungai? Mall? Masuk saja mungkin nyasar. Kolam renang? Lebih baik untuk beli ikan asin daripada untuk bayar tiket masuk kolam renang. Orang kampung seperti dia ini lebih baik digunakan untuk makan daripada untuk rekreasi. Menurutnya setiap hari sudah rekreasi. Di sawah, di ladang, ngobrol dengan kambing dan ke sungai. Tak perlu mahal dan tak perlu hidup boros. “Lawan Hidup Boros Sekarang Juga.”
Roda terus berputar seiring pedal yang terus saja diayuh. Rantai memutar pada gir dan roda berputar menyisiri jalanan terjal menuju sungai. Berat Edi rasakan saat jalanan menanjak. Namun, tak akan terasa berat jika orang spesial yang dibawa. Meskipun keringat menggumpal bagai jagung. Meskipun nafas ngos-ngosan. Meskipun lutut rasanya mau copot. Meskipun rasanya sudah tak karuan. Jika hati yang berbicara maka semua itu sirna. Hanya bahagia yang dapat dirasakan. Cinta membuat semuanya berubah.
Gadis kaya ini bukannya jijik atau jengkel dengan tempat seperti ini, namun justru dia terlihat sangat bahagia. Tak seperti gadis lain yang seperti dia, terlahir sebagai anak orang kaya. Mereka tidak mau datang ketempat-tempat seperti ini. Berdebu. Panas. Dan jalannya jelek. Beda dengan gadis ini. Dia memang beda. Dia baik. Hum, kenapa jadi memuji-muji gadis ini?
“Aku ndak nyangka ternyata badanmu ini berat juga.” Godanya. Bermaksut membuat suasana jadi lebih hidup. Bukannya membalas Suci justru cengingisan. Sepertinya Suci berhasil memenangkannya. Dia berhasil membuat Edi menderita.
“Ahh, masak gitu aja gak kuat. Kan kamu cowok, jadi harus kuat dong.” Balasnya tersenyum nakal.
“Ya kalo aku sih kuat-kuat aja. Tapi aku masih ndak percaya aja badanmu ini berat banget. Keberatan dosa kayaknya ini.” Edi membalas. Tertawa. Sekarang gantian Edi yang cengingisan sambil terus mengayuh sepeda menembus hamparan ilalang dengan bunga-bunga indah yang menari-nari bersama iringan merdu suara burung kutilang di pagi hari.
“Bukan aku yang banyak dosa, tapi kamu. Aku mah baik. Sangat baik, hehee.” Suci mulai berani bersikap manja kepada pria itu. Ya-Tuhan, sungguh cantik sekali gadis ini. Ingin sekali aku memanjakannya. Tak berdaya aku saat melihat Suci dengan manjanya merebahkan kepalanya kepunggungku. Fikirnya dalam diam.
Sesampainya mereka di sungai, mereka langsung menuju tempat dimana biasanya Edi memancing dengan Bapaknya. Suasana pagi dan udara yang masih segar, ditambah sura kicauan burung pipit menambah suasana jadi indah. Membuat mereka hanyut dalam dunia keromantisan. Gemericik air yang mengalir menjadi sebuah biola mengiringi sang burung pipit bernyanyi. Air dibawah wana mengalir mencari telaga. Ia seperti mencari labuhan terakhir. Seperti Edi. Edi yang ingin berlabuh dihati Suci. Namun itu mustahil. Air jernih terus mengalir membuat hati serasa damai, pikiran tenang, dan jiwa serasa terbang di kayangan.
Edi memajamkan mata dan membayangkan mimpi-mimpinya tercapai dengan lancar. Semua terasa sangat indah. Rasanya dia tak mau lagi terbangun dari lamunan itu. Namun, seperti ada air hujan yang turun mengenai wajahnya. Air itu. Dia membuyarkan lamunan indah Edi. Oh, ternyata ini bukan air hujan atau air mata. Namun ini adalah air sungai yang dengan sengaja Suci cipratkan ke wajah Edi. Nampaknya ia ingin main-main dengan pria polos itu. Akhirnya mereka main ciprat-cipratan air disungai. Mereka saling mengejar untuk saling membalas. Terbawa yuvoria kebahagiaan berdua. Tak sadar, mereka berdua telah bergandengan tangan.
Hening.
Pecah setelah tersadar.
Di atas sebuah batu dan dibalik sejuknya udara sore hari di sungai serta suara-suara burung yang berkicau indah seorang pria tampak sendirian merenungi nasib. Dia hanya terdiam sedih. Bagaimana lagi caraku untuk bisa kuliah? Gumamnya. SMPTN gagal. Edi memandang jauh kedepan penuh dengan harapan. Kicauan burung pipit yang dengan lincahnya seolah menjadi sountrack kesedihannya ini. Langit merah di atas sana seolah-olah menjadi saksi atas kegagalan itu. Angin sungai menusuk pori tak terasa begitu berarti dibandingkan dengan sedihnya hati itu. Tak mungkin buruh serabutan bisa kuliah. Dikirnya lagi.
Andai aku anak orang kaya. Andai aku anak pejabat. Andai aku anak pengusaha.
Dalam kesendirian dan dalam renungan itu tiba-tiba saja matanya disibukkan dengan seekor burung yang sibuk melintas dihadapannya. Seekor burung emprit terbang kesana kemari membawa sehelai rumput alang-alang. Apa yang ia lakukan? Semangat sekali burung itu? Mata Edi menyiut dan keningnya berkerut memperhatikan aktivitas burung tersebut. Sungguh, sungguh tak disangka. Ternyata burung kecil itu sedang membangun sangkar. Burung emprit kecil, dengan suara kecil, paruh kecil, sayap kecil, dan kaki yang kecil, tapi dia mampu  membangun sangkar yang begitu besar dengan menggunakan rumput alang-alang yang tergolong rumput berat.
Edi tersenyum.
Kenapa aku lemah? Aku lebih besar dari burung itu. Aku diberi tangan, kaki, pikiran, dan fisik yang sempurna. Kenapa aku harus menyerah dan pesimis? Fikirnya.
Bangkit kembali semangat yang hampir saja sirna bersama dengan harapan yang pupus. Dia yakin, jika burung sekecil itu mampu membangun sangkar yang cukup besar sendirian, kenapa dia tidak? Sebagai manusia yang diberi akal dan fikiran seharusnya yakin di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin selagi kita mau berusaha. Meskipun itu terlihat mustahil. Namun, itulah kehidupan, sulit untuk ditebak. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Mencoba segala kemungkinan yang diyakini mampu untuk mengubahnya. Tak banyak yang diharapkan oleh remaja polos ini. Dia hanya ingin mengubah sejarah keluarganya agar tidak terulang kembali. Dia hanya ingin orang-orang yang berada disekitarnya tidak bernasib sama dengannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar