Rabu, 15 Februari 2017

DUABELAS_Alia Si Anak Panti



NUTTTT..... NUUTTT..... NUUTTTT....
Siang itu, disebuah Panti Asuhan terlihat seorang Ibu Panti sedang resah menggenggam telvon. Sepertinya ia sedang menunggu telvonnya itu di angkat. Ia mondar-mandir diruang tengah sambil menempelkan HP-nya ditelinga.
Ayo angkat Dimas, angkat. Gumam Ibu Panti sambil terus mondar-mandir.
Bu Tuti menunggu dengan resah telvonnya untuk diangkat oleh Dimas. Wajahnya semakin terlihat cemas. Beberapakali ia menghubungi Dimas namun tak adajuga jawaban. Entah mengapa cowok itu tumben sekali susah untuk dihubungi. Padahal biasanya sekali telvon Dimas langsung menjawab. Kemana Dimas?
Assalamualaikum.......
Dimas menjawab telvon dari seberang sana.
“Dimas, kamu dimana, Nak? Hal buruk terjadi di Panti.”
“Hal buruk apa, Bu? Apa yang terjadi dengan panti?”
“Alia, Alia masuk rumah sakit Dimas. Penyakitnya kambuh lagi. Tadi, waktu dia sekolah dia pingsan, lalu gurunya membawanya ke rumah sakit. Dan sekarang kami sedang menunggu dokter memeriksa keadaan Alia.” Jelas Bu Tuti. Air matanya menggenang di pelopak matanya. Anak-anak yang ikut kerumah sakit juga terlihat sedih bahkan ada yang menangis guguk disudut koridor.
“Yasudah kalau gitu saya langsung kesana. Ibu jangan khawatir, pasti Alia akan baik-baik saja, percaya sama saya, Bu.” Balas Dimas dan langsung bergegas menuju kerumah sakit.
Tas, baju, celana, sepatu serta barang-barang yang ia bawa langsung dilemparkan kedalam mobil. Dia langsung bergerak cepat. Beberapa orang melihatnnya bingung karena terburu-buru. Seorang gadis penunggu kasir pun terlihat bingung karena Dimas tidak mengambil kembalian uang bayar Gym. Ternyata saat Bu Tuti menelvon Dimas sedang nge-Gym di Hardcord Gym yang terletak disebelah Stadion Kridosono.
BRUUUMMMM.......
Sedan merah terlihat cepat meninggalkan lapangan parkir Harcord Gym. Handel gas Dimas injak masuk ke dalam, ramainya jalan Sudirman tidak membuatnya untuk mengurangi kecepatan. Matanya fokus di jalan namun fikirannya masih kepada Alia yang tengah terbaring di rumah sakit. Kecemasan akan keadaan Alia menyelimuti dirinya.
Alia, gadis cilik yang memiliki nasib tidak jauh darinya sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri. Dan kini, gadis cilik itu tengah terbaring di ranjang rumah sakit karena sebuah penyakit yang ternyata sudah lama dia derita. Penyakit apa sebenarnya? Tidak tahu, Bu Tuti merahasiakan ini dari Dimas. Hanya ini yang tidak Bu Tuti ceritakan kepada Dimas. Tapi kenapa? Kenapa Bu Tuti terkesan menyembunyikannya? Padahal semua yang berkaitan dengan panti Dimas harus tahu?
Penyakit apa sebenarnya yang telah hinggap dalam diri Alia? Dimas masih bertanya-tanya sambil menunggu lampu merah dihadapannya itu hijau. Mobilnya terhenti oleh lampu apil didepan Galeria. Wajahnya sangat cemas sekali, dia tidak bisa tenang. Gelagatnya seolah mengatakan bahwa lampu merah disana harus segera hijau agar dia bisa dengan cepat sampai dirumah sakit.
Beberapa menit kemudian sedan merah terlihat  memasuki lahan parkir salah satu rumah sakit yang ada di Yogya. Dengan lihai Dimas segera memarkirkan mobilnya dan dia langsung turun dari dalam mobil. Langkahnya terburu-buru, wajahnyapun sendayu. Sedih tak menentu.
Matanya terus menyelidik saat ia jalan di lorong rumah sakit. Setiap ruangan ia periksa. Ia mencari ruangan dengan no. 31. Matanya terhenti pada satu ruangan dan dia langsung lari saat melihat Bu Tuti dan anak-anak yang lain sedang duduk sedih didepan kamar no. 31. Dimas mendekati mereka. Tak ada mata yang tidak merah, semuanya merah, lebam akibat menangis. Kesedihan mereka semua sudah dapat Dimas rasakan saat dia masih di jalan.
“Kak Dimas.” salah satu anak mendongak ketika melihat Dimas berdiri disampingnya. Dilihatnya Dimas yang tengah berdiri sambil kerepotan mengontrol nafasnya yang ngos-ngosan. Sesekali ia menelan ludah. Ludahnya sudah terasa pahit dimulutnya.
“Bagaimana keadaan Alia, Bu?” Tanya Dimas panik sementara Tuti masih menggugu dikursi panjang.
“Ibu juga belum tahu, Nak Dimas. Di dalam Dokter masih memeriksanya. Kita berdoa saja semoga Alia bisa melewati semua ini.”
“Bu, tolong jelasin ke saya, sebenarnya penyakit apa yang Alia derita? Kenapa Ibu belum cerita?” Tanya Dimas lalu ia duduk disamping Bu Tuti. Bu Tuti  menatap Dimas.
Bu Tuti langsung menceritakan apa sebenarnya yang terjadi dengan Alia. Beliau menjelaskan bahwa Alia tengah menderita gagal ginjal. Kemungkinan besar Alia harus kehilangan satu ginjalnya. Tuturnya. Penyakit itu sudah menyerang Alia sejak ia masih berumur tiga tahun. Ingin sekali Bu Tuti mengoperasinya dan mencari donor ginjal untuk Alia, namun uang menjadi kendala utamanya. Uang, uang dan selalu uang. Jika saja Bu Tuti memiliki banyak uang pasti Alia sudah sembuh dan tidak perlu keluar masuk rumah sakit lagi.
Dimas langsung tertegun diam setelah mendengar cerita dari Bu Tuti. Wajahnya tampak sedih. Dia tidak percaya ternyata Alia lebih menderita dari dirinya. Seharusnya aku bersyukur dengan keadaanku yang seperti ini. Tutur Dimas dalam hati. Dia tidak pernah menyangka jika ternyata gadis cilik yang selalu tampil ceria itu menyimpan banyak kesedihan. Luar biasa, sangat luar biasa Alia. Dimas berulangkali memuji Alia dalam hatinya. Siapa yang tahu isi hati seseorang. Jangan hanya melihat dari luarnya saja, cobalah untuk memahami dalamnya juga.
Hebat sekali Alia, menutupi dan mampu tampil ceria walaupun ajal kapan saja bisa menjemputnya. Pantas saja terkadang dia mengeluhkan perutnya. Ternyata ini jawabannya. Pikir Dimas.
Bagaimana bisa gadis kecil ini tetap tegar menjalani hari-harinya yang sangat menyedihkan ini? Jarang sekali ada orang yang mampu melewati fase-fase seperti ini, apalagi dia adalah gadis kecil yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ibu. Aku yang masih memiliki keluarga utuh dan diberi kesehatan terkadang masih merasa jika hidupku ini yang paling menyedihkan. Ternyata ada yang lebih menyedihkan dari aku. Dimas masih bercakap dalam hatinya.
Jika ini terjadi pada diriku mungkin aku tidak akan sanggup untuk menjalani hari-hariku. Aku akan lebih memilih mati daripada harus menjalani hidup bersama dengan penyakit berat. Andai saja tidak ada orang tua yang tega meninggalkan/menelantarkan anaknya, maka tidak akan ada hal-hal buruk yang terjadi pada generasi bangsa ini. Dimas tertegun diam. Dimas bengong.
“Gimana dok keadaan Alia?” Tanya Bu Tuti setelah melihat dokter keluar dari ruangan. Dimas dan yang lain langsung beranjak dan mendekati dokter yang sedang berdiri membawa alat-alat periksa.
“Bagaimana, Dok?! Alia baik-baik saja kan, Dok?” Tanya Dimas. Dimas terlihat sangat khawatir sekali. Dokter berusaha untuk menciptakan suasana tenang.
“Tenang Mas, lebih baik kita bicarakan semuanya di dalam ruangan saya saja. Disini tempatnya kurang tepat untuk membahas hal ini.” Balas Dokter sambil mencoba untuk menenangkan Dimas yang mulai terlihat emosi.
Sebenarnya Dimas hendak membentak Dokter, namun “Dimas, benar kata dokter. Lebih baik kita bicarakan di dalam saja. Tidak baik jika kita bicarakan disini, ada anak-anak yang masih belum cukup umur untuk mengetahui semuanya.” Cegah Bu Tuti. Sesekali ia melirik anak-anak yang masih berharap-harap cemas menunggu kabar sahabat pantinya itu.
Dimas langsung diam dan menuruti kata-kata Bu Tuti. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan. Di dalam ada satu suster yang terlihat sedang membereskan meja kerja dokter. Itu adalah ruangan dokter. Bu Tuti dan Dimas dipersilahkan untuk duduk dikursi yang telah disediakan sedangkan dokter duduk dibalik meja tepat dihadapan Dimas dan Bu Tuti.
Sebelum membeberkan semuanya dokter menarik nafas sejenak lalu membuangnya. Dirasa sudah siap beliau segera menjelaskan tentang kondisi Alia. Bu Tuti dan Dimas khusuk mendengarkan. Mereka sangat antusias untuk mendengar penjelasan dari dokter. Semakin jauh, semakin jauh dan semakin lesu dan tampak sedih wajah Dimas dan Bu Tuti. Butiran air mata mulai terlihat menggenangi pelopak mata mereka. Butir-butiran airmata itu terjatuh sampai membasahi pipi. Dimas menggeleng-geleng seolah dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dimas tertunduk diam. Setetes, dua tetes, tiga tetes dan sampai bertetes-tetes airmatanya turun membasahi  meja dokter. Dia menyeka matanya. Masih ada jalan untuk Alia kecil. Batinnya.
“Hay sayang,” Bu Tuti menyapa Alia dengan ceria seolah tidak ada hal besar terjadi. Alia masih terbaring lemas diranjang putih rumah sakit. Matanya masih sayup, wajahnya pucat dan tubuhnya masih sangat lemas.
Dimas menatapnya sambil tersenyum lebar menyembunyikan seribu kesedihan di dalam dirinya. Mungkin ini cara terbaik. Cara yang sama yang digunakan oleh Alia untuk tetap tegar dibalik kesedihannya. Dengan ceria dia bisa menghibur orang meskipun orang lain sulit untuk menghibur dirinya. Meskipun begitu Dimas masih tidak kuasa jika melihat gadis cilik itu. Ia ingin menangis jika memandangnya. Gadis yang masih panjang jalan hidupnya, gadis yang masih memiliki kesempatan besar untuk cita-citanya dan gadis yang sangat cerdas namun harus merasakan sakit yang setiap saat bisa merenggut nyawanya.
“Hay Alia, lihat, kak Dimas bawa siapa untuk kamu,” Dimas membuka pintu lalu anak-anak panti yang ikut kerumah sakit masuk ke dalam dengan wajah ceria. Alia tersenyum melihat kehadiran sahabat-sahabat dari panti. Ingin sekali ia duduk dan menyambut kedatangan keluarga panti namun tubuhnya masih terasa lemas untuk digerakan.
“Kamu harus cepet sembuh ya, Alia, agar kita bisa mainan bareng lagi. Aku sudah kangen sama kamu...” Ucap salah satu anak yang mencoba untuk mensuport Alia. Ia ingin Alia cepet sehat kembali. Yang lain mengiyakan kata-kata itu. Mereka semua tersenyum lebar kearah Alia. Dimas berdiri dibelakang kursi Bu Tuti. Bu Tuti duduk tepat disebelah Alia. Beliau membelai-belai kening Alia dengan lembut layaknya seorang Ibu kandung. Anak-anak yang lain mengelilingi Alia sampai membuat penuh ruangan itu. Keluarga panti kecil itu terlihat sangat harmonis.

DIA



Tepat di tanggal 14 februari yang katanya tanggal istimewa. Valentine. Itu yang gue tau. Hari Kasih Sayang. Sumpah, gue ngerasa itu memang nyata.
Tepat di tanggal 14 februari kemarin gue dipertemukan kembali sama sahabat yang udah hampir 5 tahun gak ketemu. Temen SMP gue. Gue seneng banget karena akhirnya bisa ketemu lagi sama dia. Dia beda banget, dulu dia bawel, jelek, nyebelin dan gak berhijab. Oh, sumpah, dia yang dulu bukan dia yang sekarang. Dia yang sekarang beda banget. Sekarang dia jadi bersih, bawelnya masih sih, tapi gak parah. Dia yang sekarang cantik, beda ama dulu. Dia yang dulu pendek sampe sekarang masih pendek dan itu yang bisa gue jadiin bahan buat ngenalin dia. Namun, ada yang beda. Perubahan yang bisa menarik hati gue. Perubahan yang bisa bikin mat ague gak berkedip. Perubahan itu adalah Hijab. Entah kenapa, melihat hibab yang melingkar dan menutupi mahkotanya membuat gue ngerasa ada sesuatu yang tiba-tiba aja keluar dan membuat gue bingung. Gue inget banget dengan Gamis dan Jilbab yang dikenakannya. Dia sangat cantik dengan smeua itu.
Lo kok jadi muji dia?
Lo suka?
Hah, egak. Gue muji karena gue kagum. Secara udah lama gak ketemu, sekalinya ketemu dia berubah banget, jadi gue kagum. Gue gak bisa ngomong gue suka ato egak, tapi setelah ketemu dia dengan semua perubahan positifnya ngebuat gue gak pengen nyakitin dia kayak cewek-cewek yang berhasil gue deketin. Gue gak pengin deketin dia dan gue juga gak pengin macarin dia. Biarkan sesuatu dalam diri gue ini yang menjawab semuanya.
Gue heran, hanya butuh kurang lebih 5 jam buat gue ngerasa damai deket ama cewek. Hanya butuh 5 jam dan gue bisa menyimpulkan kalo dia bukan cewek yang biasa. Cewek yang lucu yang bikin gue selalu ingat setiap senyum tipisnya. Gue bukan gombal, gue hanya memuji dari setiap sudut keindahan yang bisa gue lihat dengan kedua bola mata ini.
Pertemuan singkat gue hanya berlangsung 5 jam dan setelah itu dia harus kembali ketempat dia tinggal. Dia hanya mampir beberapa saat saja di Jogja. Tapi gue bahagia. Sebelum dia kembali, gue menitipkan pesan singkat untuk dia. Gue berharap bisa ketemu dia lagi entah dimana tempatnya dan gue juga minta ke dia, kalo ada kesempatan buat ketemu lagi, gue pengin dia pake pakaian yang sama dengan yang digunakannya waktu ketemu gue beberapa jam yang lalu. Dia cantik dengan itu.
Gue gak sabar buat nunggu 16 jam dari jam setelah dia kembali. Gue janji akan nelvon dia 16 jam kemudian. Entah kenapa gue milih angka 16, namun mungkin karena terakhir gue ketemu dia pada saat usinya 16 tahun. Gue gak tahu juga. Namun yang pasti gue akan menghubunginya pada tanggal 16 tepat pukul 8 malam. Tanggal 16 februari 2017. Itu besuk malam.
Hati-hati buat kamu yang berada dalam perjalanan pulang. Aku minta maaf gak bisa bawa kamu jalan-jalan keliling Jogja. Bukan aku gak mau, tapi waktu dan alam yang belum mengijinkan.
Aku bahagia dan aku bersyukur bisa ketemu kamu lagi. Semoga kita bisa ketemu lagi entah kapan itu. Aku akan selalu berdoa agar bisa bertemu denganmu lagi. Aku gak tau apa yang lagi aku rasain, yang pasti aku bahagia sudah ketemu kamu. Semoga kuliahmu lancer dan kamu bisa menjadi apa yang kamu inginkan dan membahagiakan orangtuamu. Ketahuilah, Setiap Orang Memiliki Cara Sendiri Untuk Mencintai Orang Yang Dicintainya. Begitupun dengan aku. Aku yang dulu bukanlah aku yang sekarang. Sama seperti kamu.
Aku gak minta kamu buat baca catatan gak penting ini. Yang aku minta hanya kamu baik-baik disana dan sukses dengan cara kamu yang sederhana. Satu yang aku harap, semoga dipertemuan kita kelak kamu masih sendiri.

Kamis, 09 Februari 2017

Tiga



“Eh, Akbar, coba kau tengok gadis itu. Ah, cantik kali Tuhan...” Togar menyetop langkahnya dan menunjuk satu gadis yang tengah duduk disebuah kursi beton di depan kampus. Mata Togar hampir saja lepas akibat melototin gadis cantik disana.
“Kamu tiba-tiba menyetop langkah sya hanya karena cewek? Kamu ini mau kuliah apa mau cari cewek? Yasudah, saya mau masuk kelas. Tolong ceritain kalau kamu sudah sukses mendapatkan dia.” Akbar membalas tidak percaya. Ia menggeleng lalu melangkah pergi. Namun baru saja kaki itu melangkah Togar sudah menghadangnya lagi. Akbar lagi-lagi harus berhenti.
“Eitthh.... Tunggulah kawan, kau jangan marah. Sensitif sekali kau rupanya. Yasudah, ayolah kita masuk kelas dan meninggalkan bidadari pagi hari itu. Susah rupanya si manusia kulkas ini.” Togar masih menyempatkan melirik gadis itu seraya melangkah untuk masuk ke dalam kelas. Ia membuntuti Akbar dari melakang sambil sesekali senyam-senyim kisbay kearah gadis itu.
“Hey Bar,” Putri menyapaku manis. Lagi-lagi cewek yang berada disebelahnya. Duduk tepat disebelahnya itu Putri. Dan manusia yang berada disebelah kanannya adalah Togar. Entah kebetulan atau memang untuk ketidak sengajaan, untuk kedua kalinya Putri menyapa tiba-tiba dan duduk disebelahnya.
Togar melihat kearah Akbar. Bukan, tapi kearah Putri, “halo Putri, makin cantik saja kau. Minum obat apa cihhh cantiikk.” Godaya sambil mengedipkan satu mata kanannya. Akbar mengerutkan dahi mencoba untuk memberi isyarat bahwa Togar seharusnya diam dan tidak menimbulkan gaduh. Berkali-kali usaha itu dilakukan namun tetap saja Togar membuat gaduh.
“Apa kau? Sat-set-sat-set. Cemburu kau Putri aku dekati? Haaa.... Ternyata kau naksir juga si cantik Putri itu. Alhamdulilah Tuhan, akhirnya kawanku satu ini bisa suka juga sama wanita. aku pikir kau sudah tidak suka wanita, kawan.” Serunya membuat seisi ruangan beralih fokus menatap mereka. Togar tidak bisa mengatur nadanya sampai dia harus mengeluarkan suara yang keras menggema diseluruh ruangan. Dan mereka harus menjadi pusat perhatian.
Bola mata togar melirik kanan dan kiri dan dia baru sadar jika ternyata banyak mata yang menatapnya sinis. “Togar, kenapa kamu? Kalau mau ribut diluar saja! Disini bukan tempat untuk ribut. Disini tempat untuk belajar.” Dosen memaki Togar sepontan.
Togar hanya cengar-cengir malu sendiri dimarah oleh Bu Dosen. “Heheheee.... Maaf, Bu Dosen, reflek tadi.” Kilahnya seraya tersenyum melas. Yang lain hanya senyam-senyum dengan ulah Togar yang konyol.

Minggu, 05 Februari 2017

Pencarian Ayahku

Kau sebut saja namaku, Akbar. Aku tak tahu siapa yang memberikan nama itu untuk aku, namun yang kutahu hanya Ibu. Ibu yang kulihat saat kedua bolamataku mulai menatap dunia ini.
Aku tak punya Ayah, bagiku Ayahku ya Ibuku. Aku terlahir dari rahim seorang Ibu yang tak berkecukupan. Ibuku hanya pekerja serabutan yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan kadang kurang.
Dan Ayahku, aku tak tahu. Aku tak pernah melihat sosok Ayah dalam gubuk reot tempat tinggalku. Untuk itu, sekarang umurku 17 tahun, dan aku akan mencari Ayahku. Aku ingin tahu bagaimana rupa dari seorang Bapak yang telah menanam benih dalam rahin Ibuku.
Perjuanganku telah dimulai. Dan, aku ingin Nusantara menjadi saksi. Apakah aku harus kembali dengan tawa atau Duka. Aku akan mencari Ayahku dan aku akan bertanya mengapa dia tega pergi meninggalkan kami. Jadilah saksi kisahku.

Senin, 16 Januari 2017

BAB 2 Peri Dipagi Hari



Satu bulan setelah pengumuman hasil SMPTN. Tak ada kata liburan untuk Edi. Satu bulan bekerja keras banting tulang bangun pagi tidur malam. Berangkat subuh pulang malam. Hasil yang dia dapat tidak membuat kecewa. Dia bisa menyisikan uang hasil kerja kerasnya sebagai buruh serabutan. Meskipun tak banyak.
“Hey, apa kabar?” Tiba-tiba terdengar suara merdu dari balik tubuh remaja ini. Entah siapa itu dia di sana. Namun, suara merdunya mampu membuat hati gundah ini terasa damai. Edi pejamkan mata dan membayangkan sosok bidadari cantik datang menemuinya di pagi hari.
Salah tingkah dia setelah mengetahui sosok yang berada di belakangnya itu. Bukan bidadari. Bukan juga seorang putri. Namun ia adalah Peri. Peri dipagi hari. Ia adalah Suci. Entah makanan apa yang baru ia makan sampai amnesia datang ke rumah kecil itu. Tak biasanya ada seorang gadis yang mau datang kesana. Berarti dia bukan gadi yang biasa.
“Kamu kok ndak bilang kalo mau kesini?” Tanyanya gugup. Ia sangat terkejut dengan kehadiran Suci. Namun hatinya bahagia.
Suci tertawa nakal. Entah apa yang ia tertawakan? Mungkin karena melihat expresi pria dihadapannya yang sangat gugup melihat tiba-tiba ia datang ke rumah. Ini pertamakalinya ada gadis yang datang kerumah itu. Hanya Ova yang sering datang. Huh, namun sayang, dia laki-laki tulen.
“Bagaimana cara aku memberitahumu? Coba kau jelaskan. Apa aku harus menghubungimu lewat telepati hati? Atau dengan berteriak dari rumahku sampai kerumahmu? Bisa dikira orang gila aku.” Balasnya tersenyum kecil. Edi memutar bola matanya searah jarum jam. Benar juga.
“Heheheee.... Iya-ya. Aku lupa.” Dia cengar-cengir salahtingkah.
Dengan menggunakan sepeda Ontel milik sang Bapak, Edi membawa Suci pergi ke sebuah sungai yang tidak jauh dari rumah. Suci duduk diboncengan belakang dan Edi yang mengemudikan transortasi sederhana itu. Mencari udara segar dan rekreasi adalah tujuan utamanya. Apalagi tempat rekreasi orang Kampung selain sungai? Mall? Masuk saja mungkin nyasar. Kolam renang? Lebih baik untuk beli ikan asin daripada untuk bayar tiket masuk kolam renang. Orang kampung seperti dia ini lebih baik digunakan untuk makan daripada untuk rekreasi. Menurutnya setiap hari sudah rekreasi. Di sawah, di ladang, ngobrol dengan kambing dan ke sungai. Tak perlu mahal dan tak perlu hidup boros. Bahagia itu sederhana.
Roda terus berputar seiring pedal yang terus saja diayuh. Rantai memutar pada gir dan roda berputar menyisiri jalanan terjal menuju sungai. Berat Edi rasakan saat jalanan menanjak. Namun, tak akan terasa berat jika orang spesial yang dibawa. Meskipun keringat menggumpal bagai jagung. Meskipun nafas ngos-ngosan. Meskipun lutut rasanya mau copot. Meskipun rasanya sudah tak karuan. Jika hati yang berbicara maka semua itu sirna. Hanya bahagia yang dapat dirasakan. Cinta membuat semuanya berubah.
Gadis kaya ini bukannya jijik atau jengkel dengan tempat seperti itu, namun justru dia terlihat sangat bahagia. Tak seperti gadis lain yang seperti dia, terlahir sebagai anak orang kaya. Mereka tidak mau datang ketempat-tempat seperti itu. Berdebu. Panas. Dan jalannya jelek. Beda dengan gadis ini. Dia memang beda. Dia baik. Hum, kenapa jadi memuji-muji gadis ini?
“Aku ndak nyangka ternyata badanmu ini berat juga.” Godanya. Bermaksut membuat suasana jadi lebih hidup. Bukannya membalas Suci justru cengingisan. Sepertinya Suci berhasil memenangkannya. Dia berhasil membuat Edi menderita.
“Aku fikir kau laki-laki yang kuat. Ternyata baru segini saja kau sudah mengeluh.” Balasnya tersenyum nakal.
“Ya kalo aku sih kuat-kuat aja. Tapi aku masih ndak percaya aja badanmu ini berat banget. Keberatan dosa kayaknya ini.” Edi membalas. Tertawa. Sekarang gantian Edi yang cengingisan sambil terus mengayuh sepeda menembus hamparan ilalang dengan bunga-bunga indah yang menari-nari bersama iringan merdu suara burung kutilang di pagi hari.
“Bukan aku yang banyak dosa, tapi kau. Aku mah baik. Sangat baik, hehee.” Suci mulai berani bersikap manja kepada pria itu. Ya-Tuhan, sungguh cantik sekali gadis ini. Ingin sekali aku memanjakannya. Tak berdaya aku saat melihat Suci dengan manjanya merebahkan kepalanya kepunggungku. Fikirnya dalam diam.
Sesampainya mereka di sungai, mereka langsung menuju tempat dimana biasanya Edi memancing dengan Bapaknya. Suasana pagi dan udara yang masih segar, ditambah sura kicauan burung pipit menambah suasana jadi indah. Membuat mereka hanyut dalam dunia keromantisan. Gemericik air yang mengalir menjadi sebuah biola mengiringi sang burung pipit bernyanyi. Udara yang menampar mereka dengan lembut membuat semakin nyaman. Air dibawah sana mengalir mencari telaga. Ia seperti mencari labuhan terakhir. Seperti Edi. Edi yang ingin berlabuh dihati Suci. Namun itu mustahil. Air jernih terus mengalir membuat hati serasa damai, pikiran tenang, dan jiwa serasa terbang di kayangan.
Edi memajamkan mata dan membayangkan mimpi-mimpinya tercapai dengan lancar. Semua terasa sangat indah. Rasanya dia tak mau lagi terbangun dari lamunan itu. Namun, seperti ada air hujan yang turun mengenai wajahnya. Air itu. Dia membuyarkan lamunan indah Edi. Oh, ternyata ini bukan air hujan atau air mata. Namun ini adalah air sungai yang dengan sengaja Suci cipratkan ke wajah Edi. Nampaknya ia ingin main-main dengan pria polos itu. Akhirnya mereka main lempar-lemparan air disungai. Mereka saling mengejar untuk saling membalas. Terbawa yuvoria kebahagiaan berdua. Tak sadar, mereka berdua telah bergandengan tangan.
Hening.
Pecah setelah tersadar.
Di atas sebuah bukit yang selalu menjadi tempat favoritnya sejak dulu dan dibalik sejuknya udara sore hari di atas sana serta suara-suara burung yang berkicau indah seorang pria tampak sendirian merenungi nasib. Dia hanya terdiam sedih. Bagaimana lagi caraku untuk bisa kuliah? Gumamnya. SMPTN gagal. Edi memandang jauh kedepan penuh dengan harapan. Kicauan burung pipit yang dengan lincahnya seolah menjadi sountrack kesedihannya ini. Langit merah di atas sana seolah-olah menjadi saksi atas kegagalan itu. Angin udara perbukitan menusuk pori tak terasa begitu berarti dibandingkan dengan sedihnya hati itu. Tak mungkin buruh serabutan bisa kuliah. Hutan lebat dan barisan perbukitan serta kabut yang mulai muncul menjadi saksi kesedihannya.
Andai aku anak orang kaya. Andai aku anak pejabat. Andai aku anak pengusaha. Fikirnya kacau.
Dalam kesendirian dan dalam renungan itu tiba-tiba saja matanya disibukkan dengan seekor burung yang sibuk melintas dihadapannya. Seekor burung emprit terbang kesana kemari membawa sehelai rumput ilalang. Apa yang ia lakukan? Semangat sekali burung itu? Mata Edi menyiut dan keningnya berkerut memperhatikan aktivitas burung tersebut. Sungguh, sungguh tak disangka. Ternyata burung kecil itu sedang membangun sangkar. Burung emprit kecil, dengan suara kecil, paruh kecil, sayap kecil, dan kaki yang kecil, tapi dia mampu membangun sangkar yang begitu besar dengan menggunakan rumput ilalang yang tergolong rumput berat.
Edi tersenyum.
Kenapa aku lemah? Aku lebih besar dari burung itu. Aku diberi tangan, kaki, fikiran, dan fisik yang sempurna. Kenapa aku harus menyerah dan pesimis? Fikirnya.
Bangkit kembali semangat yang hampir saja sirna bersama dengan harapan yang pupus. Dia yakin, jika burung sekecil itu mampu membangun sangkar yang cukup besar sendirian, kenapa dia tidak? Sebagai manusia yang diberi akal dan fikiran seharusnya yakin di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin selagi kita mau berusaha. Meskipun itu terlihat mustahil. Namun, itulah kehidupan, sulit untuk ditebak. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Mencoba segala kemungkinan yang diyakini mampu untuk mengubahnya. Tak banyak yang diharapkan oleh remaja polos ini. Dia hanya ingin mengubah sejarah keluarganya agar tidak terulang kembali. Dia hanya ingin orang-orang yang berada disekitarnya tidak bernasib sama dengannya.

Sabtu, 14 Januari 2017

Bab 1 Nusantara Mendukung



Mei 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang menyebabkan Bangsa Indonesia dilanda kemiskinan dan kekacauan hebat. Alih-alih ingin mempertahankan Pemerintahan Soeharto yang terpilih secara aklamasi parlemen untuk ketujuh kalinya justru membuat turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Mahasiswa mulai bergerak dan memprotes keras pemerintahan Soeharto hingga menimbulkan kerusuhan secara besar-besaran yang terdaftar dalam sejarah sebagai Tragedi Mei 1998.
Pada Mei 1998 masa Pemerintahan Soeharto berakhir. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan digantikan oleh wakilnya yang saat itu adalah BJ. Habibie.
Order baru berakhir berganti Reformasi. Separuh dari bangsa Indonesia dilanda kemiskinan. Namun bukan itu garis besar dari cerita ini. Empat tahun sebelum runtuhnya masa Order Baru, seorang Ibu tengah mengandung tua. Sebuah keluarga kecil yang hidup ditengah-tengah hutan belantara Sumatera yang hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga saja hidup dengan penuh kekurangan. Krisis ekonomi sangat berdampak bagi rakyat Indonesia.
Suparman dengan istrinya yang bernama Suparmi bertahan hidup dengan cara bercocok tanam mulai dari sayuran sampai buah-buahan. Tepatnya pada bulan mei 1994 seorang bayi laki-laki mungil terlahir didunia ini. Suparmi melahirkan anak pertamanya. Seorang bayi laki-laki gagah dan tampan yang diberi nama Edi Saputra.
Empat tahun kemudian barulah Peristiwa yang sering disebut dengan Kerusuhan Mei 1998 itu berangsur membaik. Bayi laki-laki yang dulu masih merah kini sudah mulai besar berumur delapan tahun. Edi Saputra. Itu nama yang diberikan Suparman untuk Putranya. Ditengah-tengah kerusuhan yang terjadi di Pusat, Jakarta, mereka mampu bertahan dengan segala kekurangannya. Menggantungkan diri dari hasil bumi. Harga bahan pangan mahal sedangkan hasil pertanian tak laku.
Keluarga kecil itu masih bisa bertahan sampai akhirnya Era Reformasi menjadi penguasa Negeri ini. Namun, peninggalan-peninggalan Kerusuhan Mei 1998 masih dirasakan oleh keluarga ini yaitu Kemiskinan.
“Apa cita-citamu, Le?” Tanya Suparman kepada putranya ditengah-tengah kebun singkong miliknya. Mereka biasa berkebun karena memang itulah pekerjaan mereka sejak jaman dulu. Turun temurun. Le, sebutan untuk anak laki-laki.
“Aku mau jadi Menteri, Pak.” Edi menjawab polos. Mereka berdua duduk dibawah pohon pisang sementara menunggu sang Ibu mengantarkan nasi untuk makan siang.
“Kok jadi Menteri to, Le? La kenapa?” Suparman bertanya antusias. Hatinya tersenyum mendengar cita-cita putranya yang sangat tinggi.
“Aku mau membangun Negeri ini. Aku mau kaya. Banyak uang. Bisa keliling dunia.” Edi membalasnya.
“Wah, besar juga keinginanmu, Le. La kamu itu jadi Menteri hanya pengen kaya apa karena pengen mensejahterakan rakyat?”
“Dua-duanya.”
“Ya ndak boleh gitu. Itu namanya serakah. Kamu ndak bisa memiliki dua hal sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Harus ada yang terlebih dulu kamu dahulukan.” Edi mengangguk kalem. Wajah polosnya membuat Suparman tersenyum.
“Le, Negara kita ini sedang menghadapi krisis Ekonomi. Kamu, sebagai calon generasi bangsa harus bisa membangun Negera ini agar jauh lebih baik lagi. Kamu ndak boleh mengikuti hal-hal yang menyimpang seperti yang dilakukan orang-orang disana. Kamu harus jadi panutan. Kamu harus jadi contoh.” Pesan Suparman untuk putranya. Suparman mulai menyenderkan pinggangnya pada batang pisang.
“Tapi gimana caranya Pak? Kita kan ndak punya uang. Kita miskin.”
“Hoalah Le, Le, kamu itu ya kok lucu. Uang itu bukan segalanya. Yang paling penting itu Ilmu. Ilmu lebih berharga dari uang. Kamu lihat Pak Soekarno sama Pak Soeharto, mereka apa punya uang, ndak Le. Mereka jadi pemimpin karena mereka punya Ilmu. Mereka pinter. Jadi, kalo kamu pengin jadi pemimpin, jadilah orang pinter.”
“Berati aku harus terus sekolah dong Pak?”
“Yo jelas. Kamu harus terus sekolah sampai jadi Sarjana. Sarjana yang berbobot. Tapi ingat Le, jangan sombong. Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin tua semakin menunduk, semakin dekat dengan tanah. Sadar jika akhirnya pasti akan kembali ke tanah. Jangan malah ndangak. Ndak boleh.” Ucap Suparman mewanti-wanti putranya. Dia tidak ingin putranya itu menjadi orang yang sombong yang lupa akan kewajibannya sebagai muslim.
Edi mengangguk kalem. Mengerti apa yang dikatakan Bapaknya. Tak lama kemudian seorang perempuan datang membawa rantang. Dari jauh sana terlihat senyum tulus terpancar dari bibirnya. Perempuan dengan kembet serta baju batik itu berjalan perlahan dibawah teriknya matahari. Wajar saja, jam satu siang. Waktunya matahari bermain.
Suparmi membuka rantang yang dia bawa. Satu rantang berisi nasi dan satu rantang lagi berisi sayur. Plastik hitam berisi krupuk dia buka. Ini saatnya makan siang sebelum melanjutkan pekerjaan lagi. Membersihkan rumput yang tumbuh dengan subur ditengah-tengah tanaman.
Lihat keluarga sederhana itu, meskipun dengan menu makan yang sangat sederhana dan dibawah teriknya matahari yang hanya dihalangi oleh pohon pisang serta ditengah-tengah perladangan, mereka masih bisa makan dengan lahap. Masih bisa kenyang. Masih bisa tertawa. Ternyata bahagia itu mudah. Cukup mensyukuri apa yang kita punya. Itu saja.
***
Disuatu tempat yang berada dipuncak paling tinggi di Bukit Barisan Sumatera, dua orang anak tengah terlihat duduk bersebelahan menatap jauh kedepan. Menatap luasnya nusantara dari atas sana. Mereka bahkan masih berseragam merah-putih lengakap dengan tas dan juga sepatu. Semeribit angin menampar kulit mereka dengan lembut. Suara-suara Lutung menggema meramaikan hutan bukit barisan.
Mereka menggangtung tasnya pada batang pohon yang berada disebelahnya. Rumput hijau, langit mendung,  perbukitan, udara dingin dan juga suara-suara burung menjadi teman mereka disana. Itu tempat favorit mereka. Tempat yang selalu mereka kunjungi saat stres karena sekolah. Tempat yang hanya mereka saja yang tahu. Dan tempat yang selalu bisa menyapu pipi mereka dengan lembut lewat udara.
“Va, apa cita-citamu?” Edi memulai percakapan. Matanya masih menatap jauh kedepan. Hamparan hutan lebat terlihat jelas disana. Sumatera masih sangat alami.
“Cita-cita? Aku tak tau, aku belum memikirkan cita-citaku. Kau sendiri, apa cita-citamu?” Ova justru bertanya balik. Dua sahabat itu mulai bercakap ringan.
“Aku mau jadi Menteri.”
Bah, Menteri? Untuk apa?”
“Untuk membangun Negara ini. Kata Bapakku aku harus bisa menjadi panutan bagi orang banyak. Menjadi contoh.”
Ova menoleh kearah sahabatnya. “Kata Mamakku, tujuh tahun yang lalu Indonesia mengalami kekacauan hebat. Mamakku saja kalau tidak kabur ke Sumatera mungkin sudah tidak bisa melahirkan aku. Kata Mamakku, banyak terjadi diskriminasi tujuh tahun yang lalu. Tapi aku juga tak tahu. Aku belum di proses saat itu. Dan aku, tak mau mengalami tragedi yang seperti Mamakku ceritakan itu.” Ova tertawa kecil.
“Aku harus jadi Sarjana.” Kata Edi spontan yang langsung membuat Ova terkejut. Ova menatap Edi serius.
“Sarjana? Sekarang saja kita masih kelas enam SD. Mau berapa lama lagi untuk jadi Sarjana? Tak tahan aku dengan sekolah. Banyak PR, ulangan, masuk pagi, matematika, hah, aku tak tahan. Malah aku tak mau sekolah rasanya.”
“Kata Bapakku aku harus terus sekolah sampe jadi Sarjana. Kalo pengen jadi Menteri aku harus punya ilmu. Aku harus pinter. Aku mau sekolah di Jogja.”
Kata Bapakku terus. Ova menggerutu.
“Kau yakin? Ulangan matematika kita saja dapat 3, gimana kita bisa terus sekolah? Yang ada kita dikeluarkan dari sekolah. Ini saja kita sudah bolos sekolah untuk pergi ketempat ini.” Kata Ova.
“Tapi aku harus terus sekolah. Aku pengin keliling dunia. Dan tempat pertama yang pengen aku datengi adalah ini,” Edi menunjukan kliping yang isinya bangunan-bangunan yang ada di Jogja salah satunya Tugu Jogja. Selain itu adajuga Keraton dan bangunan bersejarah lainnya. Ova hanya memekikkan alisnya melihat sahabat yang dianggapnya aneh itu.
Edi beranjak. Dia mengibas-ngibaskan celananya lalu memanjat pohon yang ada disebelahnya. Aneh. Ova hanya bisa menatap tingkah aneh sahabatnya itu. Sekolah memang bisa bikin orang stres. Pikir Ova. Edi masih terus memanjat sampai pada tempat tertinggi pada pohon itu.
“Kau mau ngapain?”
“NUSANTARAAAA.... AKU PASTI AKAN MENAKHLUKANMU. AKU PASTI AKAN JADI SARJANA. JOGJA, TUNGGU AKU. AKU PASTI AKAN DATANG!” Teriaknya sekeras mungkin mengarah jauh ke sana. Suaranya menggema diselah-sela lebatnya hutan bukit barisan. Angin yang akan membawa suara itu untuk sampai ketempatnya. Itu adalah doa dia. Dibawah, Ova hanya menatap tidak percaya sahabatnya itu.

Senin, 24 Oktober 2016

Lincak Tua


Lincak Tua
Namaku Anisa Putri Lestari. Umurku 11 tahun.
Aku termenung diatas lincak tua didepan rumah. Hal yang selalu kulakukan berulangkali setiap matahari senja mulai tampak jingga. Aku menunggu kehadiran seseorang yang membuat janji akan kembali untuk menemuiku. Tak singkat waktu yang kubuhtuhkan untuk menunggu kedatangannya. Namun begitu aku tak akan pernah lelah untuk menunggunya kembali. Mungkin hari ini, esok dan mungkin hari-hari lainnya.
Bagiku, menunggunya adalah suatu hal yang paling mulia. Aku tak akan pernah berhenti berharap akan kehadirannya disisiku. Aku sadar, hati kecilku mengatakan jika aku membencinya. Namun aku juga sadar, aku sangat merindukannya dan tak seharusnya aku membencinya. Semua manusia pasti mempunyai kesalahan dalam hidupnya. Namun, kesalahan itu akan menjadi besar jika tak berusaha untuk menebusnya. Aku ingin dia datang dan merubah semua kekacauan dalam gubuk reot ini.
Telingaku bergetar. Gendang telingaku bergemang mendengar tawa keras itu. Tawa yang sering aku dengar dan tawa yang berasal dari dalam rumah. Bagiku suara itu sudah tidak asing lagi ditelinga. Pagi, siang, sore bahkan malam sekalipun aku masih selalu mendengarnya.
Itu suara Ibuku. Sejak kepergian Ayah, Ibu jadi berubah. Ibu jadi memiliki banyak kepribadian. Terkadang marah-marah sendiri, nangis, teriak-teriak, lari-lari bahkan yang paling sering kudengar tertawanya yang mampu memecah hiruk-pikuk Pedesaan tempat kami tinggal. Banyak yang bilang Ibu gila, namun bagiku tidak. Bagiku, Ibu tetaplah seorang wanita yang melahirkanku. Yang mengasuhku sejak aku berada di dalam rahimnya. Ibu yang hebat dan Ibu yang sangat aku sayangi. Tak kuperdulikan orang lain menganggapnya apa.
Adzan Magrib berkumandang menggema dalam telinga seluruh penghuni bumi. Ayahku tak jua terlihat kembali. Tak ada tanda-tanda akan kehadirannya. Ini adalah hari yang ke 1800 aku menunggu kehadirannya. Bahkan umurku sekarang sudah menginjak 11 tahun. Aku menunggunya selalu ditempat ini. Diatas lincak tua kesayangannya. Jika ada yang bertanya mengapa selalu lincak tua ini yang aku jadikan tempat untuk menunggunya maka akan aku menjawab, di lincak tua inilah dia berjanji untuk kembali menemuiku. Dan aku selalu menghargai janjinya itu. Lincak tua ini adalah lincak tua kesayangannya. Lima tahun yang lalu, dan juga diatas lincak tua ini Ayah selalu membacakanku dongeng sebagai penghantar tidur dan juga sebagai penghantar kekacauan. Ayah sangat lihai sekali dalam mendongeng. Bahkan dulu aku sempat berfikir bahwa Ayah berasal dari Negeri dongeng saking terpesonanya aku dengan cerita yang dibawakannya. Namun, semua yang didongengkannya kepadaku sekarang justru terjadi sebaliknya pada faktanya. Ayah pergi meninggalkanku dan Ibu. Bahkan sudah lima tahun lamanya ayah tak juga kembali.
1800 hari yang lalu,
“Mengapa kau menangis, Nisa? Apa yang kau tangisi?” Ayah bertanya kepadaku dengan intonasi lembut. Sentuhan lembutnya menyapu rambut kepalaku. Aku terguguk dalam pangkuannya.
Aku tak menjawab. Aku hanya bisa mengguguk sementara lidahku sulit untuk digerakan. Kaku bagai es batu. Bibirku bergetar mengingat hal itu. Hal yang membuatku merasa jika kebahagiaan keluarga hanyalah angin harapan yang tak pernah bisa kurasakan namun sering kudengar.
Setiap hari hanyalah teriakan-teriakan, cacian, makian dan tangisan yang selalu kudengar. Gendang telingaku serasa berlumut mendengar semua itu. Ayah dan Ibu selalu bertengkar tanpa pernah memperdulikanku sebagai putri belia yang masih berusia enam tahun. Jujur, sampai sekarang aku belum tahu apa sesungguhnya yang sering mereka ributkan sampai membuat para tetangga hafal kapan jam-jam keributan itu akan terjadi. Tepat disore hari ketika para suami kembali dari bekerja. Suatu hal yang kuyakini adalah sarver dari semua keributan dirumah ini. Harta. Harta itulah yang selalu menjadi perdebatan.
Kami tidak tergolong dalam kategori keluarga yang berada, kami hanyalah keluarga sederhana yang tak punya apa-apa. Aku yakin itulah masalahnya. Ibu selalu menuntut lebih kepada Ayah, sedangkan Ayah dengan modal ijaza SD yang dimilikinya tak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak selain menjadi kuli panggul dan juga buruh serabutan. Bahkan jika tidak ada pekerjaan Ayah terkadang menjadi pemulung sampah.
“Mengapa Ayah selalu bertengkar dengan Ibu?” Tanyaku polos. Bibirku bergetar terisak dengan jeritan batinku sendiri.
Ayah tersenyum kecil. “Tidak ada pertengkaran antara Ayah dan Ibu. Semuanya baik-baik saja. Apa yang kau lihat itu hanyalah sebuah ujian rumah tangga yang diberikan Tuhan untuk umatnya. Kau tak usah memikirkannya, karena yang harus kau fikirkan hanyalah sekolah dan belajar yang rajin agar kelak kau menjadi orang yang sukses tidak seperti Ayahmu ini.” Tuturnya. Senyum tulusnya memberikan sensasi damai bagi hatiku yang kacau.
Saat itu aku hanya bisa mengguguk sementara di dalam rumah masih kudengar Ibu ngomel-ngomel sendiri gak jelas. Dengan dongengan Ayah berharap aku lupa dengan semua pertengkaran yang baru saja kusaksikan. Namun sulit untukku melupakan hal itu. Hal yang selalu berulangkali terjadi. Bahkan, sisa-sisa pertengkaran itu masih bisa kulihat. Lihat saja, sendok, wajan, panci, dan semua alat dapur lainnya terlihat berhamburan diatas tanah liat lantai rumah kami. Ibu yang selalu mempora-porandakan rumah kecil ini. Bahkan mungkin jika aku sebuah barang Ibu juga akan melemparku layaknya serpihan-serpihan tembaga itu. Memang tak ada yang melemparku, namun dari semua kejadian yang kulihat membuat jiwaku berkeping dan berantakan seperti peralatan dapur.
Ayah, Ayah yang selalu bisa membuatku tenang. Beliau yang selalu merangkulku saat aku tersendu. Bahkan beliau juga yang selalu memelukku dan menenangkan jiwaku dengan kalimat-kalimat indahnya. Aku tahu, kalimat-kalimat itu hanyalah penghibur agar aku tak menyimpan kejadiaan-kejadian itu di dalam memoriku. Namun salah, kejadian itu justru tertanam permanen di dalam ingatanku.
Rasa bersalah atas semua yang terjadi membuat Ayah jadi sering melamun. Ingin ia menyudahi semua ini, namun tidak bisa. Tak semudah itu. Ayah ingin tetap bersamaku, dan Ayah juga masih menginginkan keluarga kami harmonis kembali seperti dulu. Namun entah mengapa harapan itu serasa terlampau jauh dari segala kenyataan. Ibu yang selalu memulai pertengkaran itu. Aku pun tak tahu ada apa dengan Ibu. Ibu berubah. Ibu selalu ngomel ketika Ayah baru saja menginjakkan kakinya di dalam rumah. Pulang kerja. Apalagi jika Ayah pulang dengan tangan hampa, kosong.
Aku tak tahu siapa yang harus kubenci. Apa aku harus menyalahkan Ibu? Atau justru aku harus membenci Ayah yang sudah meninggalkan kami? Atau, Tuhan yang seharusnya kusalahkan dari semua cobaan yang diturunkannya pada keluarga kami? Aku tak tahu. Aku bingung. Dan aku hancur.
Semua harapanku. Semua impianku sirna seiring tergerusnya luka lara yang mendera jiwa kecilku. Aku teringat sesuatu. Dulu, sewaktu Ayah dan Ibu bertengkar aku pernah mendengar kata ‘CERAI’ dari mulut Ayah. Dan kata itulah yang menjadi pengakhir Ayah mengucapkan kata sebelum akhirnya beliau pergi. Meninggalkan aku dan Ibu. Sejak kepergian Ayah semuanya jdi berubah. Kehidupan Ibu menjadi tak jelas. Gelap. Ibu tak membiayai sekolahku yang saat itu baru duduk di bangku kelas satu SD. Untuk dua sampai lima bulan Ibu masih sanggup bertahan, namun setelahnya semuanya berubah total.
Rumah kami beralih fungsi menjadi sarang laki-laki yang keluar masuk se-enaknya saja. Selalu seperti itu sampai pagi tiba. Aku, aku yang selalu membersihkan kuntung-kuntung rokok sisa semalam. Aku tak tahu apa yang Ibu lakukan dengan pria-pria itu. Aku masih sangat polos untuk mengetahuinya. Namun, setiap pagi kondisi rumah selalu berantakan dan sisa-sisa rokok bertebaran dimana-mana. Bahkan bau asapnya pun masih bisa kurasakan. Selalu seperti itu sampai satu tahun lebih dan Ibu kembali berubah.
Ibu jadi sering melamun, jarang makan, dan tak mau berbicara. Hanya diam. Aku khawatir dengan keadaan Ibu yang seperti ini. Aku takut. Aku tak tahu harus meminta pertolongan dengan siapa dan dimana. Aku bingung. Beras dalam tungku semakin berkurang. Dulu, sewaktu Ayah masih ada meskipun sedikit tungku itu selalu diisi dengan beras setiap harinya. Namun sekarang sebaliknya.
Dua bulan kemudian Ibu kembali berubah. Aneh. Yang sebelunya pendiem jarang bicara kini jadi frontal. Ibu jadi sering tertawa-tawa sendiri, ngomong sendiri, menjerit tiba-tiba dan menangis sendu tanpa sebab. Aku kasihan sekali melihat keadaan Ibu yang seperti ini. Aku tak tega. Setiap hari airmataku harus terkuras melihat keadaan Ibu yang semakin hari justru semakin memburuk. Dalam setiap tangisannya aku bisa mengartikan sebuah penyesalan yang sangat dalam.
Buruknya, sampai saat ini, sudah lebih dari satu tahun kondisi Ibu masih sama. Malah semakin buruk. Kesehatannya menjadi terganggu. Sering sakit. Aku tak tahu sampai kapan semuanya ini akan berakhir. Mungkin sampai ajal tiba yang akan mengakhirinya.
Dua tahun kemudian,
Saat ini, aku masih setia menunggu Ayah kembali. Setiap pagi lincak tua kesayangan Ayah ini aku bersihkan dan akan kupakai untuk menunggunya ketika langit senja mulai tampak jingga. Tunggu, ada yang mengganggu pandanganku kali ini. Pandanganku terpaku dengan sosok yang berdiri gagah didepan sana. Pandanganku tak seberapa jelas. Remang-remang. Mataku masih terganjal dengan lebaman pada pelopak mata akibat menangis. Sisa-sisa tangisan kemarin masih sangat kurasakan. Aku belum bisa melihat dengan jelas. Aku melihat bola matanya yang bersinar. Aku mengenali sorotan mata itu. Ayahku.
AYAAAHHHH.......
Teriakanku memecah kesunyian. Ayahku kembali. Akhirnya, penantian lamaku ini menemui titik ujung. Entah harus bagaimana aku meluapkan kebahagiaan ini. Yang pasti aku sangat bahagia sekali. Ayah tampak bersih dan segar. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Ayah banyak sekali kemajuan. Ayah merangkulku dengan lembut. Aku ingat sekali dengan pelukan ini. Pelukan lembut untuk menenangkan jiwaku saat itu. Airmataku mengalir. Aku tak tahu ini airmata bahagia atau kesedihan. Rasanya airmata ini sudah habis terkuras kemarin. Ayah terlambat. Ibu sudah tidak adalagi di dunia ini. Ibu sudah meninggal. Keadaannya yang semakin memburuk membuat Ibu tak mampu bertahan. Hanya satu pesannya untukku, yaitu ‘permintaaan maaf untuk Ayah’.
Hanya sebuah pusara milik Ibu yang bisa Ayah lihat. Aku mengenakan jilbab putih duduk disebelah Ayah dihadapan pusara Ibu. Ayah membacakan surat Al-Quran untuk mendoakan Ibu di sana. Semoga Ibu mendapatkan tempat terindah. AMIN!