Senin, 24 Oktober 2016

Lincak Tua


Lincak Tua
Namaku Anisa Putri Lestari. Umurku 11 tahun.
Aku termenung diatas lincak tua didepan rumah. Hal yang selalu kulakukan berulangkali setiap matahari senja mulai tampak jingga. Aku menunggu kehadiran seseorang yang membuat janji akan kembali untuk menemuiku. Tak singkat waktu yang kubuhtuhkan untuk menunggu kedatangannya. Namun begitu aku tak akan pernah lelah untuk menunggunya kembali. Mungkin hari ini, esok dan mungkin hari-hari lainnya.
Bagiku, menunggunya adalah suatu hal yang paling mulia. Aku tak akan pernah berhenti berharap akan kehadirannya disisiku. Aku sadar, hati kecilku mengatakan jika aku membencinya. Namun aku juga sadar, aku sangat merindukannya dan tak seharusnya aku membencinya. Semua manusia pasti mempunyai kesalahan dalam hidupnya. Namun, kesalahan itu akan menjadi besar jika tak berusaha untuk menebusnya. Aku ingin dia datang dan merubah semua kekacauan dalam gubuk reot ini.
Telingaku bergetar. Gendang telingaku bergemang mendengar tawa keras itu. Tawa yang sering aku dengar dan tawa yang berasal dari dalam rumah. Bagiku suara itu sudah tidak asing lagi ditelinga. Pagi, siang, sore bahkan malam sekalipun aku masih selalu mendengarnya.
Itu suara Ibuku. Sejak kepergian Ayah, Ibu jadi berubah. Ibu jadi memiliki banyak kepribadian. Terkadang marah-marah sendiri, nangis, teriak-teriak, lari-lari bahkan yang paling sering kudengar tertawanya yang mampu memecah hiruk-pikuk Pedesaan tempat kami tinggal. Banyak yang bilang Ibu gila, namun bagiku tidak. Bagiku, Ibu tetaplah seorang wanita yang melahirkanku. Yang mengasuhku sejak aku berada di dalam rahimnya. Ibu yang hebat dan Ibu yang sangat aku sayangi. Tak kuperdulikan orang lain menganggapnya apa.
Adzan Magrib berkumandang menggema dalam telinga seluruh penghuni bumi. Ayahku tak jua terlihat kembali. Tak ada tanda-tanda akan kehadirannya. Ini adalah hari yang ke 1800 aku menunggu kehadirannya. Bahkan umurku sekarang sudah menginjak 11 tahun. Aku menunggunya selalu ditempat ini. Diatas lincak tua kesayangannya. Jika ada yang bertanya mengapa selalu lincak tua ini yang aku jadikan tempat untuk menunggunya maka akan aku menjawab, di lincak tua inilah dia berjanji untuk kembali menemuiku. Dan aku selalu menghargai janjinya itu. Lincak tua ini adalah lincak tua kesayangannya. Lima tahun yang lalu, dan juga diatas lincak tua ini Ayah selalu membacakanku dongeng sebagai penghantar tidur dan juga sebagai penghantar kekacauan. Ayah sangat lihai sekali dalam mendongeng. Bahkan dulu aku sempat berfikir bahwa Ayah berasal dari Negeri dongeng saking terpesonanya aku dengan cerita yang dibawakannya. Namun, semua yang didongengkannya kepadaku sekarang justru terjadi sebaliknya pada faktanya. Ayah pergi meninggalkanku dan Ibu. Bahkan sudah lima tahun lamanya ayah tak juga kembali.
1800 hari yang lalu,
“Mengapa kau menangis, Nisa? Apa yang kau tangisi?” Ayah bertanya kepadaku dengan intonasi lembut. Sentuhan lembutnya menyapu rambut kepalaku. Aku terguguk dalam pangkuannya.
Aku tak menjawab. Aku hanya bisa mengguguk sementara lidahku sulit untuk digerakan. Kaku bagai es batu. Bibirku bergetar mengingat hal itu. Hal yang membuatku merasa jika kebahagiaan keluarga hanyalah angin harapan yang tak pernah bisa kurasakan namun sering kudengar.
Setiap hari hanyalah teriakan-teriakan, cacian, makian dan tangisan yang selalu kudengar. Gendang telingaku serasa berlumut mendengar semua itu. Ayah dan Ibu selalu bertengkar tanpa pernah memperdulikanku sebagai putri belia yang masih berusia enam tahun. Jujur, sampai sekarang aku belum tahu apa sesungguhnya yang sering mereka ributkan sampai membuat para tetangga hafal kapan jam-jam keributan itu akan terjadi. Tepat disore hari ketika para suami kembali dari bekerja. Suatu hal yang kuyakini adalah sarver dari semua keributan dirumah ini. Harta. Harta itulah yang selalu menjadi perdebatan.
Kami tidak tergolong dalam kategori keluarga yang berada, kami hanyalah keluarga sederhana yang tak punya apa-apa. Aku yakin itulah masalahnya. Ibu selalu menuntut lebih kepada Ayah, sedangkan Ayah dengan modal ijaza SD yang dimilikinya tak mampu mendapatkan pekerjaan yang layak selain menjadi kuli panggul dan juga buruh serabutan. Bahkan jika tidak ada pekerjaan Ayah terkadang menjadi pemulung sampah.
“Mengapa Ayah selalu bertengkar dengan Ibu?” Tanyaku polos. Bibirku bergetar terisak dengan jeritan batinku sendiri.
Ayah tersenyum kecil. “Tidak ada pertengkaran antara Ayah dan Ibu. Semuanya baik-baik saja. Apa yang kau lihat itu hanyalah sebuah ujian rumah tangga yang diberikan Tuhan untuk umatnya. Kau tak usah memikirkannya, karena yang harus kau fikirkan hanyalah sekolah dan belajar yang rajin agar kelak kau menjadi orang yang sukses tidak seperti Ayahmu ini.” Tuturnya. Senyum tulusnya memberikan sensasi damai bagi hatiku yang kacau.
Saat itu aku hanya bisa mengguguk sementara di dalam rumah masih kudengar Ibu ngomel-ngomel sendiri gak jelas. Dengan dongengan Ayah berharap aku lupa dengan semua pertengkaran yang baru saja kusaksikan. Namun sulit untukku melupakan hal itu. Hal yang selalu berulangkali terjadi. Bahkan, sisa-sisa pertengkaran itu masih bisa kulihat. Lihat saja, sendok, wajan, panci, dan semua alat dapur lainnya terlihat berhamburan diatas tanah liat lantai rumah kami. Ibu yang selalu mempora-porandakan rumah kecil ini. Bahkan mungkin jika aku sebuah barang Ibu juga akan melemparku layaknya serpihan-serpihan tembaga itu. Memang tak ada yang melemparku, namun dari semua kejadian yang kulihat membuat jiwaku berkeping dan berantakan seperti peralatan dapur.
Ayah, Ayah yang selalu bisa membuatku tenang. Beliau yang selalu merangkulku saat aku tersendu. Bahkan beliau juga yang selalu memelukku dan menenangkan jiwaku dengan kalimat-kalimat indahnya. Aku tahu, kalimat-kalimat itu hanyalah penghibur agar aku tak menyimpan kejadiaan-kejadian itu di dalam memoriku. Namun salah, kejadian itu justru tertanam permanen di dalam ingatanku.
Rasa bersalah atas semua yang terjadi membuat Ayah jadi sering melamun. Ingin ia menyudahi semua ini, namun tidak bisa. Tak semudah itu. Ayah ingin tetap bersamaku, dan Ayah juga masih menginginkan keluarga kami harmonis kembali seperti dulu. Namun entah mengapa harapan itu serasa terlampau jauh dari segala kenyataan. Ibu yang selalu memulai pertengkaran itu. Aku pun tak tahu ada apa dengan Ibu. Ibu berubah. Ibu selalu ngomel ketika Ayah baru saja menginjakkan kakinya di dalam rumah. Pulang kerja. Apalagi jika Ayah pulang dengan tangan hampa, kosong.
Aku tak tahu siapa yang harus kubenci. Apa aku harus menyalahkan Ibu? Atau justru aku harus membenci Ayah yang sudah meninggalkan kami? Atau, Tuhan yang seharusnya kusalahkan dari semua cobaan yang diturunkannya pada keluarga kami? Aku tak tahu. Aku bingung. Dan aku hancur.
Semua harapanku. Semua impianku sirna seiring tergerusnya luka lara yang mendera jiwa kecilku. Aku teringat sesuatu. Dulu, sewaktu Ayah dan Ibu bertengkar aku pernah mendengar kata ‘CERAI’ dari mulut Ayah. Dan kata itulah yang menjadi pengakhir Ayah mengucapkan kata sebelum akhirnya beliau pergi. Meninggalkan aku dan Ibu. Sejak kepergian Ayah semuanya jdi berubah. Kehidupan Ibu menjadi tak jelas. Gelap. Ibu tak membiayai sekolahku yang saat itu baru duduk di bangku kelas satu SD. Untuk dua sampai lima bulan Ibu masih sanggup bertahan, namun setelahnya semuanya berubah total.
Rumah kami beralih fungsi menjadi sarang laki-laki yang keluar masuk se-enaknya saja. Selalu seperti itu sampai pagi tiba. Aku, aku yang selalu membersihkan kuntung-kuntung rokok sisa semalam. Aku tak tahu apa yang Ibu lakukan dengan pria-pria itu. Aku masih sangat polos untuk mengetahuinya. Namun, setiap pagi kondisi rumah selalu berantakan dan sisa-sisa rokok bertebaran dimana-mana. Bahkan bau asapnya pun masih bisa kurasakan. Selalu seperti itu sampai satu tahun lebih dan Ibu kembali berubah.
Ibu jadi sering melamun, jarang makan, dan tak mau berbicara. Hanya diam. Aku khawatir dengan keadaan Ibu yang seperti ini. Aku takut. Aku tak tahu harus meminta pertolongan dengan siapa dan dimana. Aku bingung. Beras dalam tungku semakin berkurang. Dulu, sewaktu Ayah masih ada meskipun sedikit tungku itu selalu diisi dengan beras setiap harinya. Namun sekarang sebaliknya.
Dua bulan kemudian Ibu kembali berubah. Aneh. Yang sebelunya pendiem jarang bicara kini jadi frontal. Ibu jadi sering tertawa-tawa sendiri, ngomong sendiri, menjerit tiba-tiba dan menangis sendu tanpa sebab. Aku kasihan sekali melihat keadaan Ibu yang seperti ini. Aku tak tega. Setiap hari airmataku harus terkuras melihat keadaan Ibu yang semakin hari justru semakin memburuk. Dalam setiap tangisannya aku bisa mengartikan sebuah penyesalan yang sangat dalam.
Buruknya, sampai saat ini, sudah lebih dari satu tahun kondisi Ibu masih sama. Malah semakin buruk. Kesehatannya menjadi terganggu. Sering sakit. Aku tak tahu sampai kapan semuanya ini akan berakhir. Mungkin sampai ajal tiba yang akan mengakhirinya.
Dua tahun kemudian,
Saat ini, aku masih setia menunggu Ayah kembali. Setiap pagi lincak tua kesayangan Ayah ini aku bersihkan dan akan kupakai untuk menunggunya ketika langit senja mulai tampak jingga. Tunggu, ada yang mengganggu pandanganku kali ini. Pandanganku terpaku dengan sosok yang berdiri gagah didepan sana. Pandanganku tak seberapa jelas. Remang-remang. Mataku masih terganjal dengan lebaman pada pelopak mata akibat menangis. Sisa-sisa tangisan kemarin masih sangat kurasakan. Aku belum bisa melihat dengan jelas. Aku melihat bola matanya yang bersinar. Aku mengenali sorotan mata itu. Ayahku.
AYAAAHHHH.......
Teriakanku memecah kesunyian. Ayahku kembali. Akhirnya, penantian lamaku ini menemui titik ujung. Entah harus bagaimana aku meluapkan kebahagiaan ini. Yang pasti aku sangat bahagia sekali. Ayah tampak bersih dan segar. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. Ayah banyak sekali kemajuan. Ayah merangkulku dengan lembut. Aku ingat sekali dengan pelukan ini. Pelukan lembut untuk menenangkan jiwaku saat itu. Airmataku mengalir. Aku tak tahu ini airmata bahagia atau kesedihan. Rasanya airmata ini sudah habis terkuras kemarin. Ayah terlambat. Ibu sudah tidak adalagi di dunia ini. Ibu sudah meninggal. Keadaannya yang semakin memburuk membuat Ibu tak mampu bertahan. Hanya satu pesannya untukku, yaitu ‘permintaaan maaf untuk Ayah’.
Hanya sebuah pusara milik Ibu yang bisa Ayah lihat. Aku mengenakan jilbab putih duduk disebelah Ayah dihadapan pusara Ibu. Ayah membacakan surat Al-Quran untuk mendoakan Ibu di sana. Semoga Ibu mendapatkan tempat terindah. AMIN!

Sabtu, 15 Oktober 2016

Puisi Untuk Ayah

Ayah
Masih terlukis dalam benakku kehadiranmu
Masih terdengar ucapan-ucapan nasehat ditelingkau
Dan semua tentang kenangan kita di masa lau
dulu tawaku adalah bagian dari tawamu
Setiap tangisku adalah beban Mu

Ayah, engkau adalah pembangkit semangatku
Tetesan keringat ditubuhmu semua demi masadepanku
hingga kini dekapan pelukmu masih kurasa
Kerinduan-kerinduan bersamamu kini hanyalah kenangan
Ketegaran yang kau ajarkan membuatku bertahan kini

Ku urungkan semua rasa rindu di dalam hatiku
Kepergianmu membuat keadaan tak lagi sama
Tak adalagi cengkraman canda tawa
Tak adalagi tempat untukku berbagi

Ayah, andai engkau dapat mendengar isi hatiku
Aku ingin agar kita dapat bertemu meskipun hanya sekali
Doa-doaku semoga engkau selalu damai di alam sana
Salam rinduku Ayah

#Anak yang merindukanmu

Jumat, 14 Oktober 2016

Tawa dan Tangis

Tawa dan Tangis
Aku pernah tertawa, dan aku juga pernah menangis. Bagiku tertawa dan menangis adalah satu kesatuan yang gak bisa dipisahkan. Setiap ada tawa pasti akan ada tangis. Hari ini, hari ini aku menangis. Menangis karena untuk kesekian kalinya aku gagal. Gagal meloloskan Novel karyaku sendiri di Penerbit mayor.
Aku tak tahu akan pertanda apa ini. Beberapakali di tolak dari dua karya yang kukirimkan. Aku memang tak pandai dalam merangkai kata pada kalimat-kalimat dalam novelku. Aku bukan ahli Sastra yang pandai membuat cerita menjadi drama. Meskipun begitu aku juga punya cita-cita. Aku ingin menerbitkan karya yang diakui kualitasnya.
Aku tak tahu apa aku harus terus maju atau bergerak mundur. Aku tak punya banyak teman untuk diajak berbagi. Bukan berati aku tak memiliki teman. Banyak sekali teman dan juga sahat. Namun dari mereka tidak ada yang memiliki visi dan misi yang sama sehingga nyambung untuk diajak saring.
Aku sedih, aku tak tahu harus kemana mengadu. Aku jauh dari orangtua. Aku merantau jauh ke Jogja untuk menuntut ilmu. Mengajar semua impianku. Namun saat ini aku bingung. Bagaimana aku meminta pendapat kepada oranglain terhadap karyaku? Sahabatku? Mereka baru membaca dua lembar saja sudah tertidur.
Saat ini aku hanya berharap keajaiban datang. Aku berharap Tuhan menjawab semua doa-doaku. Kerjakerasku dan juga tekadku. Aku yakin Tuhan maha adil. Hanya satu inginku, memberikan Karya yang bisa dikenang dan bermanfaat bagi orang banyak meski aku sudah tak berada di dalam Galaxi ini. Aku ingin memberikan kebanggaan bagi kedua orangtuaku khususnya Ibu. Ibu yang sangat aku sayangi. Ibu, Ibu, Ibu dan Ibu.

Jumat, 07 Oktober 2016

SEMUANYA SERBA TERDUGA

SEMUANYA SERBA TERDUGA
Banyak sekali kejadian yang pernah kita alami membuat kita sadar akan kebesaran Tuhan. Dan terkadang kita juga tidak sadar bahwa ternyata setiap kejadian yang kita alami adalah sebuah kejadian yang Tuhan berikan kepada kita. Dan dari setiap kejadian pasti ada sebuah pengalaman. Tuhan selalu memberikan balasan dari setiap hal yang kita lakukan. Baik buruk mau pun baik.
Sebenarnya jika kita cermati dengat baik, semua kejadian di dunia ini sudah sangat terduga. Jadi tidak ada yang tidak terduga. Semuanya sudah tercantum di dalam kitap-kitap atau ajaran-ajaran dari setiap kepercayaan kita masing-masing. Semua sudah tercatat dengan jelas "bahwa setiap perbuatan pasti akan mendapat balasan. Jika kita menebar benih jagung maka panen yang akan didapat pun berupa benih jagung." Itu artinya, jika kita menanam benih kebaikan maka akan berupa kebaikan juga balasan yang kita dapat. Begitupun sebaliknya.
So, semuanya sudah jangat jelas bukan? Semuanya sudah bisa kita tahu dan sudah sangat terduga. Cobalah kau tanam bibit kebaikan agar suatu saat nanti kau mendapat balasan berupa kebaikan jua.
Dan ingat! Teruslah berjalan lurus dan jangan pernah berfikir untuk keluar dari jalur, karena jalur yang sudah ditentukan itu adalah jalur yang akan menuntunmu pada PINTU SURGA.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Bapak

“Ya ndak boleh gitu. Itu namanya serakah. Kamu ndak bisa memiliki sesuatu dua sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Harus ada yang terlebih dulu kamu dahulukan.” Edi mengangguk kalem. Wajah polosnya membuat Suparman tersenyum.
“Le, Negara kita ini sedang menghadapi krisis moneter dan ekonomi. Kamu, sebagai calon generasi bangsa harus bisa membangun Negera ini agar jauh lebih baik lagi. Kamu ndak boleh mengikuti hal-hal yang menyimpang seperti yang dilakukan orang-orang disana. Kamu harus jadi panutan. Kamu harus jadi contoh.” Pesan Suparman untuk putranya. Suparman mulai menyenderkan pinggangnya pada batang pisang.
“Tapi gimana caranya Pak? Kita kan ndak punya uang. Kita miskin.”
“Hoalah Le, Le, kamu itu ya kok lucu. Uang itu bukan segalanya. Yang paling penting tu Ilmu. Ilmu lebih berharga dari uang. Kamu lihat Pak Soekarno sama Pak Soeharto, mereka apa punya uang, ndak Le. Mereka jadi pemimpin karena mereka punya Ilmu. Mereka pinter. Jadi, kalo kamu pengin jadi pemimpin, jadilah orang pinter.”
“Berati aku harus terus sekolah dong Pak?”
“Yo jelas. Kamu harus terus sekolah sampai jadi Sarjana. Sarjanah yang berbobot. Tapi ingat Le, jangan sombong. Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin tua semakin menunduk, dekat dengan tanah. Sadar jika akhirnya pasti akan kembali ke tanah. Jangan malah ndangak. Ndak boleh.” 

Kamis, 29 September 2016

Kau Puisi


Kebimbangan
Disini aku yang mencintaimu,
Aku Yang Mengharapkanmu, dan
Aku Yang Mendambamu.
Kamu Jauh Di Sana. Tak Dekat Jarak Dan Waktu Untuk Kita Bertemu.
Jika Kita Dipertemukan Oleh Waktu, Maka Aku Akan Mengatakan Kepada-Mu.
“Sebagai Laki-Laki Yang Sangat Mencintaimu Aku Hanya Ingin Kamu Mengizinkan Aku Untuk Menitipkan Rasa Ini Di Hatimu Jika Kamu Harus Bahagia Bersamanya. Jika Aku Pilihanmu Bantulah Aku Untuk Menjaga Dan Mempertahankan Rasa Ini.”

Pery Pagi Hari
Pagi Ini Aku Meneteskan Air Mata,
Setetes Air Mata Yang Mungkin Tak Berguna, dan
Setetes Air Mata Yang Mungkin Hanya Rekayasa.
Namun, Sejujurnya Ini Adalah Air Mata Cinta,
Air Mata Bahagia Karena Bisa Bersamamu Wahai Kekasih Ku.

LDR
Saat Aku Mulai Memejamkan Mata Hanya Bayanganmu Yang Bisa Aku Lihat,
Saat Aku Mulai Terlelap Masih Bayanganmu Yang Ada Dipikiran Ku,
Saat Aku Kembali Terbangun Dan Gak Bisa Tidur Lagi Pun Hanya Dirimu Orang Pertama Yang Aku Cari Dan Aku Harapkan.
Dirimu Yang Jauh Demi Sebuah Cita-Cita.

Penyesalan
Hati Ini Memang Pernah Ada Di Hati Mu,
Hati Ini Memang Pernah Menjadi Bagian Dari Hati Mu,
Hati Ini Juga Yang Pernah Melukai Hati Mu.
Namun, Hati Ini Juga Yang Akan Menjaga Dan Berusaha Membuatmu Bahagia.
Namun, Sesungguhnya Hati Ini Tidak Akan Memiliki Arti Jika Hanya Berjalan Sendiri.





Perbedaan
Alasan klasih sebuah perpisahan adalah perbedaan.
Kenapa Demikian?
Kenapa Perbedaan Jadi Masalah?
Haruskah Perbedaan?
Bukankah Tuhan Menciptakan Manusia Semuanya Sama?
Yang Membedakan Hanya Jenis Kelamin Saja Bukan?
Kasihan! Kebahagiaan Dia Disana Harus Hancur Karena Ketidak Adilan Dunia Nyata.
Hilang Bagai Debu Yang Terhempas Kencangnya Angin Topan Terbawa Bersama Puing-Puing Dan Dedaunan Yang Terbang Meninggalkan Bumi.
Entah Dimana Angin Akan Menurunkan Daun Dan Debu Itu.

Pagi Ini
Terlihat Cerah Cuaca Di Pagi Ini,
Udaranya Yang Segar Mampu Mendamaikan Hati,
Pantulan Sinar Mentari Yang Menari-Nari Di Atas Embun Pagi
Seakan Mengisyaratkan Bahwa Dunia Ini Hanya Milik Kita Berdua.
Tulus
Kuciptakan Syair Puisi Untukmu,
Bukan Syair Indah,
Bukan Juga Syair Yang Tercipta Dari Sastrawan. Tapi,
Ini Sebuah Syair Yang Tercipta Dari Hati Yang Tulus Mencintaimu.

Peri Dipagi Hari


Peri Dipagi Hari
Satu bulan setelah pengumuman hasil SMPTN. Tak ada kata liburan untuk Edi. Satu bulan bekerja keras banting tulang bangun pagi tidur malam. Berangkat subuh pulang malam. Hasil yang dia dapat tidak membuat kecewa. Dia bisa menyisikan uang hasil kerja kerasnya sebagai buruh serabutan. Meskipun tak banyak. Dan dia juga sudah bisa membeli hape dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Sekarang dia punya HP. Cieee.... Punya H-P.
“Hey, apa kabar?” Tiba-tiba terdengar suara merdu dari balik tubuh remaja ini. Entah siapa itu dia di sana. Namun, suara merdunya mampu membuat hati gundah ini terasa damai. Edi pejamkan mata dan membayangkan sosok bidadari cantik datang menemuinya di pagi hari.
Salah tingkah dia setelah mengetahui sosok yang berada di belakangnya itu. Bukan bidadari. Bukan juga seorang putri. Namun ia adalah Peri. Peri dipagi hari. Ia adalah Suci. Entah makanan apa yang baru ia makan sampai amnesia datang ke rumah kecil itu. Tak biasanya ada seorang gadis yang mau datang kesana.
“Kamu kok ndak bilang kalo mau kesini?” Tanyanya gugup. Ia sangat terkejut dengan kehadiran Suci. Namun hatinya bahagia.
Suci tertawa kecil. Entah apa yang ia tertawakan? Mungkin karena melihhat expresi pria dihadapannya yang sangat gugup melihat tiba-tiba ia datang ke rumah. Ini pertamakalinya ada gadis yang datang kerumah itu. Hanya Ova yang sering datang. huh, namun sayang, dia laki-laki tulen.
“Gimana caranya aku bilang ke kamu? Melalui telepon kaleng? Atau melalui telepati hati? Atau dengan berteriak dari rumahku sampai kerumahmu? Bisa dikira orang gila aku.” Balasnya tersenyum kecil. Edi memutar bola matanya searah jarum jam.
“Heheheee.... Iya-ya. Aku lupa.” Dia cengar-cengir salahtingkah.
“Oya, denger-denger ada yang udah punya hape nih? Jadi penasaran pengin lihat.” Sindirnya mesam-mesem menggoda. Edi tersenyum malu-malu.
“Kamu kok tau?”
“Cie-cieeee... Yang udah punya hape, gayalah yaaaa.” Godanya sambil mencubit perut pria dihadapannya itu. Edi berusaha menghindari namun Suci tetap saja menang dan berhasil mencubit perutnya.
Akhirnya mereka tukeran nomor hape lalu mereka ngobrol-ngobrol dengan canda tawa. Dari dalam, Ibu, Suparmi membawakan dua cangkir teh hangat untuk Putranya dan Suci. Tamunya.
Dengan menggunakan sepeda Ontel milik sang Bapak, Edi membawa Suci pergi ke sungai yang tidak jauh dari rumah. Suci duduk diboncengan belakang dan Edi yang mengemudikan transortasi sederhana itu. Mencari udara segar dan rekreasi adalah tujuan utamanya. Apalagi tempat rekreasi orang Kampung selain sungai? Mall? Masuk saja mungkin nyasar. Kolam renang? Lebih baik untuk beli ikan asin daripada untuk bayar tiket masuk kolam renang. Orang kampung seperti dia ini lebih baik digunakan untuk makan daripada untuk rekreasi. Menurutnya setiap hari sudah rekreasi. Di sawah, di ladang, ngobrol dengan kambing dan ke sungai. Tak perlu mahal dan tak perlu hidup boros. “Lawan Hidup Boros Sekarang Juga.”
Roda terus berputar seiring pedal yang terus saja diayuh. Rantai memutar pada gir dan roda berputar menyisiri jalanan terjal menuju sungai. Berat Edi rasakan saat jalanan menanjak. Namun, tak akan terasa berat jika orang spesial yang dibawa. Meskipun keringat menggumpal bagai jagung. Meskipun nafas ngos-ngosan. Meskipun lutut rasanya mau copot. Meskipun rasanya sudah tak karuan. Jika hati yang berbicara maka semua itu sirna. Hanya bahagia yang dapat dirasakan. Cinta membuat semuanya berubah.
Gadis kaya ini bukannya jijik atau jengkel dengan tempat seperti ini, namun justru dia terlihat sangat bahagia. Tak seperti gadis lain yang seperti dia, terlahir sebagai anak orang kaya. Mereka tidak mau datang ketempat-tempat seperti ini. Berdebu. Panas. Dan jalannya jelek. Beda dengan gadis ini. Dia memang beda. Dia baik. Hum, kenapa jadi memuji-muji gadis ini?
“Aku ndak nyangka ternyata badanmu ini berat juga.” Godanya. Bermaksut membuat suasana jadi lebih hidup. Bukannya membalas Suci justru cengingisan. Sepertinya Suci berhasil memenangkannya. Dia berhasil membuat Edi menderita.
“Ahh, masak gitu aja gak kuat. Kan kamu cowok, jadi harus kuat dong.” Balasnya tersenyum nakal.
“Ya kalo aku sih kuat-kuat aja. Tapi aku masih ndak percaya aja badanmu ini berat banget. Keberatan dosa kayaknya ini.” Edi membalas. Tertawa. Sekarang gantian Edi yang cengingisan sambil terus mengayuh sepeda menembus hamparan ilalang dengan bunga-bunga indah yang menari-nari bersama iringan merdu suara burung kutilang di pagi hari.
“Bukan aku yang banyak dosa, tapi kamu. Aku mah baik. Sangat baik, hehee.” Suci mulai berani bersikap manja kepada pria itu. Ya-Tuhan, sungguh cantik sekali gadis ini. Ingin sekali aku memanjakannya. Tak berdaya aku saat melihat Suci dengan manjanya merebahkan kepalanya kepunggungku. Fikirnya dalam diam.
Sesampainya mereka di sungai, mereka langsung menuju tempat dimana biasanya Edi memancing dengan Bapaknya. Suasana pagi dan udara yang masih segar, ditambah sura kicauan burung pipit menambah suasana jadi indah. Membuat mereka hanyut dalam dunia keromantisan. Gemericik air yang mengalir menjadi sebuah biola mengiringi sang burung pipit bernyanyi. Air dibawah wana mengalir mencari telaga. Ia seperti mencari labuhan terakhir. Seperti Edi. Edi yang ingin berlabuh dihati Suci. Namun itu mustahil. Air jernih terus mengalir membuat hati serasa damai, pikiran tenang, dan jiwa serasa terbang di kayangan.
Edi memajamkan mata dan membayangkan mimpi-mimpinya tercapai dengan lancar. Semua terasa sangat indah. Rasanya dia tak mau lagi terbangun dari lamunan itu. Namun, seperti ada air hujan yang turun mengenai wajahnya. Air itu. Dia membuyarkan lamunan indah Edi. Oh, ternyata ini bukan air hujan atau air mata. Namun ini adalah air sungai yang dengan sengaja Suci cipratkan ke wajah Edi. Nampaknya ia ingin main-main dengan pria polos itu. Akhirnya mereka main ciprat-cipratan air disungai. Mereka saling mengejar untuk saling membalas. Terbawa yuvoria kebahagiaan berdua. Tak sadar, mereka berdua telah bergandengan tangan.
Hening.
Pecah setelah tersadar.
Di atas sebuah batu dan dibalik sejuknya udara sore hari di sungai serta suara-suara burung yang berkicau indah seorang pria tampak sendirian merenungi nasib. Dia hanya terdiam sedih. Bagaimana lagi caraku untuk bisa kuliah? Gumamnya. SMPTN gagal. Edi memandang jauh kedepan penuh dengan harapan. Kicauan burung pipit yang dengan lincahnya seolah menjadi sountrack kesedihannya ini. Langit merah di atas sana seolah-olah menjadi saksi atas kegagalan itu. Angin sungai menusuk pori tak terasa begitu berarti dibandingkan dengan sedihnya hati itu. Tak mungkin buruh serabutan bisa kuliah. Dikirnya lagi.
Andai aku anak orang kaya. Andai aku anak pejabat. Andai aku anak pengusaha.
Dalam kesendirian dan dalam renungan itu tiba-tiba saja matanya disibukkan dengan seekor burung yang sibuk melintas dihadapannya. Seekor burung emprit terbang kesana kemari membawa sehelai rumput alang-alang. Apa yang ia lakukan? Semangat sekali burung itu? Mata Edi menyiut dan keningnya berkerut memperhatikan aktivitas burung tersebut. Sungguh, sungguh tak disangka. Ternyata burung kecil itu sedang membangun sangkar. Burung emprit kecil, dengan suara kecil, paruh kecil, sayap kecil, dan kaki yang kecil, tapi dia mampu  membangun sangkar yang begitu besar dengan menggunakan rumput alang-alang yang tergolong rumput berat.
Edi tersenyum.
Kenapa aku lemah? Aku lebih besar dari burung itu. Aku diberi tangan, kaki, pikiran, dan fisik yang sempurna. Kenapa aku harus menyerah dan pesimis? Fikirnya.
Bangkit kembali semangat yang hampir saja sirna bersama dengan harapan yang pupus. Dia yakin, jika burung sekecil itu mampu membangun sangkar yang cukup besar sendirian, kenapa dia tidak? Sebagai manusia yang diberi akal dan fikiran seharusnya yakin di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin selagi kita mau berusaha. Meskipun itu terlihat mustahil. Namun, itulah kehidupan, sulit untuk ditebak. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Mencoba segala kemungkinan yang diyakini mampu untuk mengubahnya. Tak banyak yang diharapkan oleh remaja polos ini. Dia hanya ingin mengubah sejarah keluarganya agar tidak terulang kembali. Dia hanya ingin orang-orang yang berada disekitarnya tidak bernasib sama dengannya.

Selasa, 27 September 2016

Aku Bahagia, Meski Aku Sakit


Aku Bahagia, Meski Aku Sakit
“Maafkan aku. Tak seharusnya aku membawamu saat itu. Aku sangat mencintaimu, jangan kau biarkan aku hidup sendiri di dunia ini. Hidup dengan bayang-bayang rasa bersalah. Penyesalan yang mungkin akan aku bawa sampai mati! Sanggupkah nyawaku menebus semua kesalahanku, Tuhan!” Laki-laki itu menagis sambil terus memeluk sebuah batu nisan. Air matanya mengalir deras sederas hujan yang saat ini tengah membasahi tubuhnya. Dalam pekatnya hujan yang terus mengguyur tubuhnya, laki-laki ini masih mengguguk di sebuah pusara.
“Kenapa harus dia, Tuhan!” Teriaknya menongak ke atas seolah menginginkan keadilan Tuhan. Sementara dia masih mengguguk penuh sesal.
“KENAPA BUKAN AKU!!! Aku yang bersalah, seharusnya aku yang mati!” Laki-laki itu masih memaki dirinya sendiri disana. Air hujan, langit gelap, petir, angin, semua menjadi saksi atas penyesalannya.
“Sudah, jangan kamu menyiksa diri seperti ini. Ini bukan murni kesalahan kamu. Semua ini adalah kehendak Tuhan. Semua kejadian di dunia ini atas kehendak-Nya. Tuhan yang sudah mengatur semuanya, termasuk mengambil nyawa seseorang. Seharusnya kamu bisa menerima dan mengiklaskannya. Jika kamu seperti ini berarti kamu menentang kehendak Tuhan. Kasihan juga dia di sana, pasti dia akan sedih! Menangis melihatmu seperti ini. Ingat Dimas, semua manusia pasti akan mati.” Sosok wanita tiba-tiba datang membawa payung yang menghalangi air hujan semakin membuat beku tubuh laki-laki yang tengah memeluk nisan itu.
Laki-laki itu menoleh. Mencari sumber yang dengan enteng mengucapkan kalimat itu. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu sedangkan dia tak pernah merasakannya. Siapa dia?
“Iklas? Kamu bilang aku harus iklas! Setelah aku membunuh kekasihku sendiri kamu bilang aku harus iklas! Tuhan tidak adil kepadaku! Lebih baik kamu pergi dan jangan mengurusi masalahku. PERGI!” Bentak laki-laki itu sambil mendorong tubuh si wanita yang tengah memayunginya sampai hampir membuatnya tersungkur. Wanita itu meneteskan air mata.
Sepertinya hati sulit untuk berdamai. Laki-laki itu bahkan tidak perduli meskipun wanita itu telah berkorban, rela datang ke makam meskipun hujan lebat menghadangnya. Derasnya hujan bukan seberapa dibanding sakit hati mencintai seseorang namun tak mendapat balasan. Cinta bertepuk sebelah tangan. Namun, naluri hati tak tega melihat laki-laki yang ia cintai menyiksa diri. Wanita itu sangat mencintainya meski hati tak memilihnya. Meskipun begitu, sang wanita berlapang dada. Ia mau menerima karena ia tahu, “cinta tak harus memiliki.” Cinta mampu menghapus luka yang sudah menggores pada hati itu. Cinta, itulah cinta.
“Tapi aku perduli sama kamu. Aku tahu sampai kapan pun aku tak akan pernah bisa memiliki hatimu, namun aku sangat perduli. Aku tak bisa melihatmu seperti ini. Semuanya telah terjadi, tak adalagi yang harus disesali.” Balas si wanita terurai air mata.
“Untuk apa kamu perduli pada laki-laki yang tidak bisa menerima cinta-mu! UNTUK APA?! Lebih baik kamu cari laki-laki yang bisa menerimamu. Aku bukan yang terbaik...” Balas laki-laki itu menunduk tanpa expresi. Rambutnya terurai penuh dengan air. Sang wanita menangis mengguguk disampingnya.
“Lisa, seharusnya kamu berada dirumah. Untuk apa kamu disini? Air hujan akan membuat tubuhmu lemah dan terjatuh sakit. Biarkan aku berada disini bersama dengan makam kekasihku dan penyesalanku. Aku bukan laki-laki yang pantas  untuk kau nantikan.” Ucap laki-laki itu.
Lisa? Ya, Lisa adalah nama wanita yang sejak tadi memayungi laki-laki itu. Wanita yang sejak tadi bersabar membujuk laki-laki itu untuk segera beranjak pulang. Wanita yang sangat setia dengannya. Dan, wanita yang tak pernah bisa memiliki hati laki-laki itu.
“Dimas, aku tahu memang sangat berat semua ini bagimu. Aku juga tahu jika kamu memang seharusnya tak aku nantikan. Namun, apa bisa dikata jika hati ini sudah berkata. Raga ini hanya bisa menuruti apa kata hati wanita lemah yang berada tepat disampingmu ini. Aku datang untukmu. Untuk berada disampingmu kapanpun kamu perlukan. Aku perduli dengan kamu. Sangat perduli!” Lisa memeluk erat tubuh Dimas.
Dibalik derasnya hujan dan pekatnya suasana makam, Lisa memberikan bahunya sebagai tempat untuk Dimas berlabuh. Dipelukannya, Dimas terus saja menangis mengguguk. Tak banyak yang bisa Lisa perbuat selain membuat Dimas nyaman dalam pelukan itu.
Disaat remaja seusianya sibuk untuk mengurus kuliah dengan kedua orangtuanya, justru Dimas, si remaja tampan yang baru saja lulus SMA harus menanggung kepedihan kehilangan sang kekasih yang sangat dicintainya. Saat remaja seusinya sibuk merayakan kelulusan SMA dengan keluarga justru Dimas harus bersedih karena tidak bisa bertemu dengan orangtuanya dihari besarnya ini. Bahkan disaat Dimas terbaring di atas ranjang ruang icu pun ia tak melihat kedua orangtuanya. Mereka justru sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dimas hanya bisa meratapi kesedihannya kehilangan kekasih dan perhatian kedua orangtuanya.
Sedangkan wanita yang bernama Lisa adalah wanita yang sudah sejak kecil menjadi sahabatnya. Bahkan rumah mereka pun tetanggaan. Lisa rela sakit menahan rasa sakit dihatinya, namun dia tidak bisa jika melihat Dimas tersakiti hatinya. Mungkin banyak yang bilang jika Lisa adalah wanita bodoh karena setia mencintai tanpa dicintai. Namun, mereka pasti akan melakukan hal yang sama jika menjadi Lisa. Itulah cinta, terkadang sulit untuk dicerna logika. Cinta memang bodoh, namun akan lebih bodoh jika tidak pernah merasakan jatuh cinta.
Seminggu yang lalu ujian nasional baru saja usai. Hati yang dag-dig-dug karena takut dengan ujian nasional sudah hilang. Kini hati mereka jauh sudah plong karena sudah melewati fase Ujian Nasional. Namun, kini hati mereka harus dicemaskan dengan hasil ujian yang baru saja berakhir. Mungkin diantara mereka akan ada yang menangis karena tidak lulus. Namun itu bukanlah yang diharapkan. Masuk bersama maka harus lulus bersama. Berjuang bersama maka harus merdeka bersama. Sedih bersama maka harus bahagia bersama pula. Itulah simbolis persahabatan mereka. Siswa kelas tiga yang baru saja melewati masa ujian dan tinggal menunggu pengumuman dari hasil ujian tersebut.
Seperti tradisi jauh sebelum mereka, setiap perpisahan atau setiap kali pengumuman sudah diumumkan maka mereka akan merayakan kelulusan itu dengan cara corat-coret baju dan saling bertukar tanda tangan. Setelah itu mereka akan melakukan komfoi bersama tanda bahwa mereka semua lulus dan siap untuk melanjut kejenjang berikutnya.
Sejak jauh-jauh hari ada yang sudah mempersiapkan tentang kelanjutan studynya setelah lulus SMA. Tentang akan kuliah dimana? Ngambil jurusan apa? dan Universitas mana yang akan menjadi tujuan mereka. Namun, itu hanya berlaku bagi mereka yang sangat perduli dengan pendidikan. Disisi lain adajuga siswa yang justru sibuk mempersiapkan pesta perpisahan. Pesta yang sama seperti yang dilakukan senior-senior mereka terdahulu.
Sedangkan Dinda justru disibukan dengan mengurus persyaratan untuk persiapan mendaftar beasiswa kuliah di luar Negeri. Dinda sibuk mondar-mandir demi melengkapi berkas-berkas persayaratan agar segera bisa dikirim pada pihak penyelenggara beasiswa internasional. Dimas? Tidak ada laki-laki yang memikirkan tentang kuliahnya, mereka semua sibuk merancang pesta perpisahan termsuk Dimas. Dimas-lah promotor dari setiap kegiatan disekolah itu. Jelas, Dimas ketua OSIS SMA N 1 PAGAR DEWA.
Akhirnya, hari yang dinanti tiba. Hari dimana nasib mereka ditentukan oleh selembar kertas putih. Detik dimana mengguncang jantung mereka. Detik-detik pengumuman akan segera tiba. Semua siswa sudah berkumpul diaula sekolah. Termasuk Gina, Lisa dan Dinda. Mereka masih berharap-harap cemas akan hasil ujian itu. Ada yang sudah menangis, bahkan ada yang terus berdoa berharap hasilnya memuaskan. Ada juga yang santai optimis akan lulus ujian nasional. Bahkan ada yang sudah pingsan saat kepala sekolah baru saja mengucapkan salam pembuka. Semua siswa berdiam dalam cemas. Tak ada satupun yang mampu untuk tersenyum. Mereka semua terlihat sangat tegang. Mata mereka fokus, hati mereka berdebar-debar, pikiran mereka takut dan telinga mereka terbuka lebar untuk mendengar hasil pengumuman.
Yuforia kemenangan dimulai. Semua siswa yang berada didalam aula langsung berhambur berkumpul dihalaman sekolah. Mereka tertawa lepas bahkan ada yang sujud syukur ditengah lapangan. Ada yang menangis bahagia dan disudut sana ada yang siap membawa lima botol pilok untuk corat-coret seragam sebagai tradisi kelulusan. Kepala sekolah mengumumkan bahwa semua murid lulus seratuspersen. Dan, pecahlah yuforia kebahagiaan itu. Dimas, dan seluruh murid yang merayakannya pecah mewarnai halaman sekolah. Aksi corat-coret dimulai. Lapangan yang tadinya dipenuhi oleh putih abu-abu, kini berupah menjadi sebuah lapangan pelangi karena warna-warni dari pilok yang di semprotkan ke baju. Tak lupa, saling tuker tandatangan juga mewarnai yuforia kelulusan mereka.
Pesta corat-coret baju selesai. Masih ada acaralagi yang wajib untuk dilakukan. Apalagi kalau bukan komfoi merayakan kelulusan. Komfoi biasanya terdiri dari beberapa sekolah yang berada disekitar Kabupaten. Mereka semua menjadi satu untuk meramaikan jalan raya. Seluruh siswa pecah dijalanan membuat pengendara lain harus ekstra hati-hati. Dimas menjadi ketua rombongan dari SMA itu. Iring-iringan motor memenuhi jalan poros Tulang Bawang dan diantaranya adalah Dimas dengan motor gedenya. Di jok belakang duduk dengan anggun sosok wanita dengan tinggi ideal, kulit putih mengenakan jilbab warna cokelat. Ya, dia adalah Dinda. Sedangkan Gina menunggangi skuter matic dibelakang motor Dimas bersama dengan sahabatnya yaitu Lisa.
Awalnya iring-iringan berjalan dengan tertib dan lancar. Namun, beberapa jam kemudian menjadi ricuh setelah anggota dari SMA lain menggeber motornya lalu melajukan motornya dengan kencang sampai hampir saja membuat Dimas terjatuh.Tak mau direndahkan oleh SMA lain Dimas lalu memutar gas motornya dengan kecepatan tinggi. Ia bermaksut untuk mengejar lima orang dengan jenis motor yang sama yang hampir saja membuatnya terjatuh itu. Motor melaju dengan cepat. Beberapa mobil besar, pribadi dan beberapa motor dia salip dengan berlagak pembalap yang sedang berada dalam arena sircuit. Gina yang berada dibelakangnya saja ngeri sendiri melihat Dimas didepan sana. Dinda sempat menegurnya untuk mengendurkan gas karena Dinda takut jika Dimas kebut-kebutan di jalan. Meskipun Dinda telah bersusah payah mengingatkan Dimas, namun tetap saja Dimas tak mau dengar. Justru Dimas malah melaju dengan kecepatan tinggi. Merasa dikejar, rombongan yang berada didepannya itu tak mau kalah, mereka juga semakin melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dimas beserta kelima sahabatnya itu mengejarnya dari belakang. Diantara sahabatnya itu ada juga Doni, sahabat sejak kecilnya Dimas.
Semakin lama Dimas semakin emosi dan semakin ngawur mengendarainya. Tak perduli mau mobil besar atau kecil, mau sempit atau longgar, selagi masih cukup dengan motornya maka ia akan terus memaksakan untuk membalap. Akhirnya balapan terjadi di sana. Dari belakang Gina melihat Dimas sudah mulai tak terkendali. Ia semakin ngawur mengendarainya. Ingin Gina menghentikannya, namun bagaimana bisa skuter metic mengejar motor gede itu. Gina hanya bisa menatap cemas Dimas didepan sana. Terlebih Lisa. Ia sangat mencemaskan Dimas. Beberapa kali Lisa berdoa di belakang Gina untuk keselamatan Dimas. Bukan Dimas justru Lisa yang paling ketakutan.
Dinda masih mencoba menegur dengan menepuk-nepuk pundak Dimas, namun Dimas menghiraukannya. Dimas masih saja tidak mau mengurangi kecepatannya.
BRUUAAAKKKKK!!!!
Apa yang ditakutkan tejadi.
DIMAASSS!!!!
Lisa berteriak kencang dibelakang Gina. Hampir saja gendang telinga Gina pecah dibuatnya. Lisa langsung lari menghampiri Dimas dan Dinda yang tergeletak tak berdaya di atas aspal.
Pada sebuah tikungan di depan sana dari arah berlawanan sebuah truck bermuatan pasir melaju dengan cepat menyerempet motor Dimas yang memang mengambil jalur yang salah. Akibatnya Dinda terpental sejauh duapuluh meter dan tubuhnya terbanting di aspal. Tidak berhenti disitu, tubuh Dinda langsung disambut oleh mobil pribadi jenis kijang inova yang juga berada sejalur dengan truck tersebut. Sedangkan motor Ninja Kawasaki warna hijau tersungkur dalam sebuah jurang bersama dengan tubuh Dimas.
Hening.
Siliner ambulan memecah keheningan itu
Tak lama kemudian ambulan datang membawa tubuh Dimas dan Dinda. Mereka berada dalam ambulan yang berbeda. Sedangkan polisi yang mengurusi motor dan truck serta kijang inova yang menabrak mereka. Mereka semua langsung berbondong-bondong datang ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Dimas dan Dinda. Gina, Gina masih syock dengan kejadian yang menimpa sahabatnya itu. Kejadian itu tepat di depan matanya. Ingin ia langsung berlari mendekap Dimas, namun Lisa sudah dulu merangkul tubuh Dimas yang terbaring tak berdaya penuh dengan darah.
Sosok wanita tengah terlihat mengguguk disudut sana. Dia adalah Lisa. Lisa mengguguk disudut koridor. Beberapa teman dan guru mencoba untuk menenangkannya. Gina mendekati Lisa dan mencoba untuk menenangkannya. Gina juga tak kalah sedih. Ia tak kuasa untuk menahan sedih itu rasanya. Namun ia sadar, ia harus kuat dan tidak boleh terlihat seperti seharusnya.
Sayang, sungguh malang nasib Dinda. Ia dikabarkan meninggal ditempat sedangkan Dimas masih tak sadar dalam rungan icu. Benturan pada bagian kepala sampai menyebabkan pembulu darahnya pecah dan dokter tak mampu menyelamatkan Dinda dari kematian. Semua sahabat serta teman-teman di SMA menangis tak lebih guru-guru mereka. Hujan airmata pecah kala itu dirumah sakit. Hanya Dimas yang belum tahu tentang kematian Dinda. Dinda juga termasuk dalam siswi yang berprestasi yang mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar Negeri. Namun sayang, ajal keburu menjemputnya. Mereka masih terurai airmata melihat jasad Dinda yang perlahan dimasukan ke dalam liang. Dinda tak berdaya tanpa nyawa didalam liang tanpa jendela itu. Semua orang sedih. Tidak ada yang tida bersedih di pemakaman itu.
Jasadnya dimakamkan tanpa sepengetahuan Dimas, karena dia masih terbaring tak sadar di rumah sakit. Hanya Lisa yang menemaninya di rumah sakit. Kadang simbok datang jika dirumah tidak sibuk. Papa dan Mamanya hanya sekali menjenguknya karena kesibukan mereka membuat tidak ada waktu untuk menjenguk Dimas. Empat hari kemudian barulah Dimas mendapat kabar jika Dinda meninggal dunia dan telah dimakamkan. Tak menunggu diperbolehkan untuk pulang Dimas langsung lari keluar pergi ke persemayaman terakhir kekasihnya itu. Disanalah ia meluapkan semua penyesalannya sampai satu hari satu malam ia tak pulang. Ia terus saja memeluk nisan Dinda sambil terus meminta maaf dan menangis. Rasa bersalahnya sangat besar, apalagi dia harus merenggut nyawa wanita yang akan menuntut cita-citanya. Dia tahu, kuliah diluar Negeri adalah cita-cita Dinda. Sebelum kecelakaan terjadi Dinda sempat meminta kepada Dimas, jika dia harus kuliah diluar negeri dan mereka LDR-an maka Dinda berharap agar Dimas setia menunggunya kembali. Namun apa boleh dikata jika Tuhan berkendak, niatan untuk LDR-an sementara kini berubah menjadi selamanya.
Dan penyesalan serta rasa bersalah itu yang membuat Dimas menyiksa diri sampai berbulan-bulan. Setiap hari ia hanya bengong di depan makam kekasihnya itu. Orang tuanya yang sibuk membuat Dimas seperti tak adalagi yang perduli. Lisa yang biasanya menggantikan bibi Inem mengurus Dimas. Lisa tidak tega melihat keadaan sahabatnya saat itu. Hatinya juga ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Dimas. Badan yang tadinya putih bersih, gemuk, kini berubah menjadi kumal, kurus dan rambutnyapun panjang tak terurus. Beberapakali Lisa membujuknya untuk menyudahi penyesalan itu, namun ia tidak mendengarnya. Semua rasa bersalahnya menutupi gendang telinganya. Lisa hanya bisa tlaten dan dengan sabar merawat Dimas sampai akhirnya tiba. Dimana Dimas bisa mencintainya.

Senin, 19 September 2016

Ayah yang hilang

Ini hari ketiga Akbar mencari Ayahnya. Aku tidak tahu apakah kerja kerasnya itu akan membuahkan hasil atau tidak. yang pasti, aku hanya ingin berdoa agar dia bisa benar-benar bisa menemukan sang Ayah yang tak pernah dia lihat sejak bayi.
Semuanya terasa konyol. Bagaimana bisa seorang anak terlahir tanpa Bapak? Aneh. aku juga tidak tahu Bapak mana yang tega meninggalkan istrinya saat sang istri tengah hamil buah dari benih yang dia tanam.
Mungkin ini bukan hanya terjadi pada Akbar saja. Masih banyak diluar sana yang bernasib sama dengan Akbar. Hanya mereka lebih memilih untuk menerima takdirnya. Takdir bukan untuk diikuti, tapi takdir untuk dilawan.
Aku akan menceritakan bagaimana perjalanannya Akbar, sahabatku dalam petualangannya untuk menemukan sang Ayah. Aku pasti akan berbagi.

Sabtu, 17 September 2016

Hari Baru

Ini blog baru aku. Blog yang akan aku jadikan sebagai tempat dimana aku bisa berbagi pengalaman kepada kalian semua. Di blog ini saya akan menulis semua kisah yang mungkin bisa menginspirasi kalian semua.
Aku pernah jatu. Aku pernah terpuruk. Aku pernah gagal. Dan aku, bangkit kembali. Bagiku, hidup ini adalah untuk gagal.
Saya akan menulis semua gasil penelitianku. Tentang arti sesungguhnya hidup ini.